Diasuh Dangdut Rhoma Hingga Dewasa





   Rhoma Irama: Sihir Dangdut

Oleh Irfan R.Darajat

Jangan lupakan pesan si Raja Dangdut: cinta, salat, dan silat.

ADISIS KECIL DIAJAK oleh ayahnya menempuh perjalanan sekitar setengah jam dari Kertosono, satu kecamatan di Nganjuk, menuju Jombang, Jawa Timur. Setiba di lokasi tujuan, telah berdiri panggung megah di atas tanah lapang, disemuti banyak orang. Rhoma Irama, si Raja Dangdut, akan tampil malam itu.

Adisis tidak tahu sama sekali siapa penyanyi yang dikagumi ayahnya ini. Tetapi, sepulang dari sana, dengan spontanitas anak kecil, Adisis minta kepada ayahnya untuk dibelikan kostum yang sama persis dengan Rhoma. Rupa-rupanya pengalaman itu terus dia bawa hingga dewasa.

Mirip putaran balik suatu nasib, entah berkah atau kutukan, saya berjumpa Adisis 24 tahun sekian hari dari peristiwa masa kecilnya itu. Tubuh Adisis telah dikurapi alunan irama dangdut dengan seenaknya sendiri. Kendati, misalnya, 10 dari 10 orang yang kita pilih secara acak tak mengenal Adisis. Atau, katakanlah, ada seseorang yang mengenalnya; itu pun mungkin dari pekerjaannya sebagai pedagang buah. Adisis berkata memang dari awal dia tak punya niatan sedikit pun untuk menggeser takhta si Raja Dangdut. Dia akan cukup puas kalau bisa menjadi Pangeran Dangdut.

Adisis mungkin tahu tapi menunggu. Dan dunianya sampai sekarang bukanlah dalam layar televisi ataupun pentas di perkampungan, melainkan (masih) di seputaran kampus. Namanya boleh jadi hanya desas-desus, yang kadangkala patut kita perhatikan tapi sekaligus, pada saat bersamaan, bisa pula kita abaikan.
Saya mulai mengenal Adisis dari seorang kawan, yang mengatakan orkes dangdut yang dibikin Adisis bersama teman-temannya khusus memainkan lagu-lagu Rhoma Irama.

“Enggak suka koplo?” Saya penasaran. “Anti dia,” kata kawan saya.

Di gelanggang mahasiswa Universitas Gadjah Mada, saya bertemu dengan Adisis, tepatnya mulai mencari cara untuk mengajaknya mengobrol. Saya ke sana sebetulnya untuk ikut berproses bersama teman-teman Teater Gadjah Mada. Pementasan tinggal dua minggu lagi. Suasana latihan masih adem ayem dan, ketimbang panik sendirian, saya mulai berbual-bual bersama Adisis.

                               Pesan lagunya tentang moral

Semula kebetulan belaka. Seorang senior di Teater Gadjah Mada, Pak Suharyoso, dosen di Institut Seni Indonesia, akan segera pensiun. Dia pernah menulis naskah drama berjudul Plin-Plan, dan naskah itu dipilih sebagai persembahan untuk pentas perpisahannya. Banyak lagu Rhoma Irama dalam naskah itu, menjadi elemen penting untuk progresi adegan dan cerita, yang mau tidak mau, menuntut untuk dinyanyikan. Singkatnya, pentas itu membutuhkan grup orkes dangdut, bukan lagu pengiring lewat pemutar musik.
Pementasan naskah itu bertemu Adisis. Kuliah di jurusan Sastra Jawa—istilah resmi kampus dinamakan Sastra Nusantara, menceburkan Adisis salah satunya dengan bergiat di Swagayugama, sebuah unit mahasiswa yang memainkan gamelan. Beberapa alat musik tradisi pernah dicicipinya, dari slentho, beralih ke slenthem, dan terakhir, yang paling nyaman untuknya, adalah gerong (wiraswara atau vokal laki-laki).
Iklim berkomunitas di satu tempat, seyogyanya, harus saling mendukung komunitas lain. Secara kebetulan, nama Adisi mengemuka lewat teman-teman Teater Gadjah Mada. Mereka bersaksi, tiada yang lebih fasih menyanyikan lagu-lagu Rhoma Irama selain Adisis. Kebetulan lain, Adisis tidak menampik ajakan mementaskan naskah Plin-Plan.

Segera kemudian Adisis membentuk sebuah orkes dadakan dengan personel seadanya. Dia mengumpulkan teman-temannya: Suluh mengisi gitar, Ardi di ketipung. Juga mencari teman lain untuk memainkan seruling, bass, dan akordeon. Adisis mengajak pula kawannya, dipanggil Kenyut, untuk berduet.

“Duet sama Kenyut itu asyik. Dia main tamborin sambil joget. Kosa geraknya luwes,” katanya.

Bisa dibilang penampilan perdana mereka cukuplah asoy. Di kali lain, ketika unit kegiatan mahasiswa selam menghelat acara ulang tahun, orkes itu diminta untuk tampil lagi. Responsnya juga asyik. Persoalan muncul kemudian—atau sesungguhnya muncul dari keasyikan. Pikir Adisis, sayang juga kalau proyek orkes ini dibiarkan.

Adisis kurang sreg dengan nama sementara orkes ini, yakni “Tumini”, lebih semula tercetus dari iseng semata. Berkat saran seorang teman, nama proyek orkes itu diganti: Orkes Melayu Dangdut Pembangunan. Alasannya sederhana. Atau, khas gojek kere ala Yogyakarta yang terdengar utak-atik gathuk. Adisis suka dengan tema-tema yang punya kandungan moral, adapun orkes bentukannya memainkan lagu Rhoma Irama. Orkes melayu Soneta, asuhan Rhoma, berkembang jaya di masa pemerintahan Soeharto, yang getol banget mengumandangkan asas pembangunan.

Adisis sepakat. Dia menganggap usulan itu masuk akal—bukan berarti dia juga sepakat dengan rezim Orba atau setuju dengan sikap dan pandangan Rhoma dalam kehidupan nyata.Begitulah, tanpa pikir panjang, Adisis memutuskan memakai nama tersebut. Selanjutnya, setiap acara yang dihelat di Gelanggang, OMD Pembangunan selalu ambil panggung. Mereka telah menjadi milik warga Gelanggang dan memang sejauh ini, mereka belum pernah manggung di luar.

MASA KECIL KAMI, yang besar di perdesaan, bisa sangat mirip bila bersentuhan dengan musik dangdut. Tetangga kami sama-sama sering mengepung rumah kami dengan lagu-lagu Rhoma Irama.
Udara yang dibebani suara Rhoma ini, di tempat saya di Purworkerto, mengalun dari rumah yang pemiliknya tengah memilih barang rongsok, atau di rumah lain sedang memotong kayu untuk kusen jendela dan pintu rumah. Lagu-lagu Rhoma menemani aktivitas kerja mereka. Dengan perkakas bahana yang wah, dan lagu yang tak putus-putus, saya kadang tertipu mengira sedang ada hajatan di rumah tetangga.
Sementara untuk pengalaman Adisis: “Tetanggaku penjual kaset. Kaset Rhoma banyak. Hampir setiap hari aku dengar lagu Rhoma.”

Selain lagu Rhoma, Adisi kerap mendengar musik pop Indonesia atau tembang-tembang melayu. Semuanya terserah si tetangga pengin memutar lagu apa, telinga Adisis cuma bisa patuh. Ditambah lagi, ayah Adisis kerap menyetel kaset kasidahan. Dari sanalah, saya menimbang, bagaimana musik yang tumbuh di masa remaja Adisis terus melekat di kepalanya.

Persoalan kesamaan perilaku tetangga kami, di daerah masing-masing, membuat saya yakin, bahwa setidaknya di pulau Jawa, Rhoma Irama memang merajai skena musik pop Indonesia mutakhir.
Oma Irama—nama lahir dari Rhoma—tak diragukan telah berperan penting dalam tumbuh kembang musik dangdut. Kemunculannya pada 1970 bersama Orkes Melayu Soneta telah mengubah skena musik pop Indonesia. Di panggung, Soneta menghadirkan ketukan dangdut yang ritmis dan goyang-able, mengganti instrumen akustik menjadi elektrik, dengan nuansa rock (yang muncul karena Oma penggemar Deep Purple) membalut di sekujur lagu. Dan satu hal yang tidak boleh kita lupakan: gitar buntung khas Oma dengan petikan gitar (bending) yang sangat istiqomah. Itu telah membuat semua orang rela menjadi rakyat dangdut, dan dia adalah rajanya.

Secara bertahap, popularitas dan kesuksesan Oma terus menanjak. Kaset-kaset rekamannya membeludak di pasaran, puluhan film dibintanginya. Variasi tema dalam penulisan lagunya mulai hadir. Semula soal cinta dan hidup harian, dia mulai menambahkan unsur dakwah. Tepatnya setelah Oma naik haji pada tahun 1975. Namanya juga sejak itu dia tambahkan dengan sematan semacam gelar: R. H—Raden Haji.

Dalam satu wawancara, Rhoma mengutarakan bahwa musik dangdut yang dibawanya kini merupakan perkembangan dari musik Melayu, Deli, Sumatra Utara. Bercampur dengan irama gambus, irama dari India, dan sedikit unsur musik Eropa (keroncong). Dia berhasil memasyarakatkan dangdut dan mendangdutkan masyarakat. Dari semula disebut musik kampungan hingga menjadi musik semua golongan. Dan pada 1990-an, musik dangdut sempat diproyeksikan sebagai musik nasional. Ambil contoh, tahun 1995 grup musik Ken Dedes—seluruh anggotanya perempuan—terbang ke Papua untuk melangsungkan pentas di sana. Dangdut ada di mana-mana, bahkan berlipat ganda.

Sebaran musik dangdut ini mungkin hanya bisa ditandingi, atau saling berpilin, oleh proyek transmigrasi. Keduanya, dangdut dan tranmigrasi, mengisi nomenklatur politik Indonesia. Dan, bagaimanapun, di masa post-goyang ngebor dan generasi alay, lagu-lagu Rhoma masih saja berdengung di telinga kita.
Bisa dibilang, saya dan Adisis adalah demografi besar dari anak-anak desa sebelum tahun 1990-an yang ditimang oleh irama Bang Haji Rhoma.

“SELAIN RHOMA, penyanyi dangdut yang disuka siapa lagi?”
“Megi Z. Mansyur S,” kata Adisis. “Elvi Sukaesih juga suka. Sama ini: Rita Sugiarto. Aku suka banget. Irama melayu!”

Deret penyanyi dangdut itu berbeda dari Rhoma. Kesemuanya memainkan irama yang lebih condong ke pop-dangdut-melayu. Pembeda mencolok lain: tidak ada dari mereka yang memiliki orkes dangdut pengiring yang dihidupkan bersama penyanyi pemimpinnya.

Adisis mengaku dia terkesima dengan teks-teks yang dihadirkan oleh Rhoma Irama. Raja Dangdut ini bisa saja menulis lagu-lagu cinta yang mengandung unsur CGSN (Cengeng, Gembeng, Sengsara, Nelangsa) pada lagu ‘Kegagalan Cinta’, bicara soal fakir-miskinnya hidup seorang tunawisma pada lagu ‘Gelandangan’, atau peliknya persoalan suami-istri yang tak kunjung mendapat momongan lewat lagu ‘Mandul’. Tetapi, lebih dari itu, dia juga bisa bicara soal perjudian, bicara bahaya minuman keras di lagu ‘Mirasantika’, mengajak hidup sehat dan tidur secara teratur lewat lagu ‘Begadang’.

“Raden Haji Oma Irama. Rhoma Irama. Jenius!” ucap saya di tengah obrolan kami yang selalu takjub meski telah berulang kali mengetahui fakta macam itu. Dalam satu putaran percakapan, kami menyinggung soal dangdut koplo. Ini adalah sebuah variasi irama dangdut yang muncul spektakuler selama satu dasawarsa terakhir. Iramanya berkembang dari dangdut daerah, diawali dari sumbangan penting wilayah pesisir pantai utara Jawa. Yang paling mudah menautkan ingatan kita kepada model dangdut koplo adalah kemunculan Inul Daratista yang menuai kontroversi tahun 2003—bahkan mendapatkan gugatan dari si Raja Dangdut sendiri karena ukuran moralitasnya tidak berpadu melihat goyangan Inul. Era ini juga ditandai dengan kian naiknya kesalehan pribadi digembar-gemborkan secara histeris, menuai hasilnya lewat apa yang dinamakan “Perda Syariah” di lapangan politik, di pelbagai daerah, dan patokan penting lain disahkannya UU Pornografi tahun 2008.
Namun, perkembangan dangdut pantura yang kita hadapi sekarang pun telah berkembang dari apa yang mulanya dipopulerkan Inul. Orkes dangdut koplo tidak melulu hadir dengan biduan perempuan yang memiliki senjata goyangan yang namanya beraneka ragam (dari goyang gergaji, goyang kayang, goyang dribel, atau goyang parabola). Mereka hadir dengan format orkes melayu yang jika diamati memiliki kesamaan pola dengan orkes melayu yang dibentuk oleh Rhoma. Semuanya nyaris sama, kecuali instrumen mandolin dan ketukan kendang. Dangdut koplo memiliki ketukan yang lebih cepat, rancak, dan ritmis.

“Aku bukannya anti-dangdut koplo. Siapa sih yang bisa tahan kalau dengar ketukannya?!” kata Adisis.
“Cuma, cara tutur di liriknya itu, lho, aku enggak cocok. Kalau Rhoma itu kan masih dipikir pemilihan katanya. Lha, kalau koplo itu kayak ceplas-ceplos bahasanya. Suka saru dan sedikit ngawur.
Latar belakang Adisis yang pernah mengenyam pendidikan pesantren dan asupan irama kasidah dari ayahnya membuat lirik yang dihadirkan oleh dangdut koplo mental dari telinganya. Sopan, santun, moralitas, dan sisi puitis dalam pemilihan kata diperhatikan betul oleh Adisis. Itu yang bikin dia jatuh cinta sama Rhoma Irama.Adisis menyanyikan sepotong lirik ‘Judi’: Perdukunan ramai menyesatkan. Dia berkomentar kemudian, “Lho, coba. Enak banget itu!”

Naiknya popularitas lagu-lagu koplo, menurut Adisis, membawa kondisi dangdut saat ini mengalami krisis penyanyi pria. Tentu saja kita mengenal Thomas Djorgi dengan ‘Sembako Cinta’-nya, Saipul Jamil, atau Nassar. Tetapi, bahkan, untuk mendekati kualitas almarhum Megi Z.—yang meski lagu-lagunya sangat lekat dengan unsur CGSN—generasi lebih baru ini dibandingkan saja belum layak. Lagipula, menurut Adisis, lagu-lagu yang dinyanyikan di panggung dangdut koplo mengisyaratkan kalau lagu itu ditulis dengan mengandung unsur kegenitan, dan memang ditujukan untuk penyanyi perempuan.
“Aku pernah nyanyi lagu ‘Masa Lalu’. Kaku rasanya,” kata Adisis.

Lagu ‘Masa Lalu’ dipopulerkan Inul Daratista tahun 2013 dan kini seakan jadi lagu wajib dangdut koplo. Penulis lagunya—sebagaimana sering terjadi pada proses produksi dangdut koplo—misterius dan simpang siur; ada yang menyebut seseorang bernama Bayusiwa, tapi sumber lain menyebut Miswan Samudra. Yang jelas lagu ini, setelah dipopulerkan Inul, dikidungkan kembali oleh OM. Sera lewat Via Vallen, dibikin asoy oleh OM. Sonata lewat Deviana Safara, dan digabung dengan aksi akrobatik oleh Trio Endel.

Masa lalu biarlah masa lalu / Jangan kau ungkit,  jangan ingatkan aku / Masa lalu biarlah masa lalu / Sungguh hatiku tetap cemburu,” gumam saya melantunkan bait refrain serta-merta tanpa perintah.
Sambil menahan cengengesan, saya mulai singgung kehidupan Rhoma Irama yang sopan dan gemar berdakwah di lagu dan di atas panggung, namun flamboyan di kehidupan nyata, dan fundamentalis dalam pandangan politiknya.

“Ya, kalau dipikir-pikir dia pasti mahir merayu. Lihat saja lirik-liriknya,” ucap Adisis.
“Kenapa sih Rhoma itu kelakuannya enggak kaya di lagu-lagunya?! Jengkel aku!”
“Kalau Rhoma maju jadi presiden gimana?”
“Ha-ha. Konyol itu!”

Adisis memendam rasa kesal. Itu membuatnya membagi dua sosok Rhoma Irama. Rhoma yang dia kagumi adalah irama yang muncul dalam lagu-lagu yang ditulisnya, yang puitis dan militan memainkan gitar dan menyanyi, yang mengagungkan agama dan suka menyampaikan dakwah lewat lagu meski cuma satu ayat, yang gagah dan pandai bertarung dan tak pernah kalah demi menegakkan kebenaran dalam film-filmnya—mirip film-film Steven Seagal atau Chuck Norris, sebetulnya, tentu saja minus irama dangdut.
“Cinta, salat, dan silat. Tiga hal itu yang seringkali kita masih luput,” tegas Adisis.
Saya seketika menatap lantai.

ADISIS, betapapun senang menyanyi, tak pandai bermain gitar. Di unit kegiatan mahasiswa yang menggauli seni karawitan dan tari klasik gaya mataraman Yogyakarta, dia hanya menguasai slenthem, sebuah alat musik dari lembaran lebar logam tipis yang diuntai dengan tali dan direntangkan di atas tabung-tabung dan menghasilkan dengungan rendah atau gema. Pernah sekali dia membeli gitar dengan uang hasil usahanya sendiri, semasa SMA. Belum tangkas belajar memainkannya, dia keburu diminta ayahnya untuk lekas menjualnya. Meski ayahnya adalah orang yang pertama kali mengenalkannya kepada Rhoma Irama, tapi dia tidak pernah sepakat kalau Adisis jadi pemusik.

“Aku cuma bisa main kunci C, F, sama G. Lagu yang bisa, ya cuma ‘Sewu Kuto’, sama satu lagu dari Jamrud.”

Kini, setelah proyek orkes dangdutnya yang bisa dibilang sekadar hobi—bahkan mungkin menjauhi cita-cita Adisis untuk pengin jadi Pangeran Dangdut, bagaimanapun, bagi saya, ia berbeda dari sejumlah orkes lain yang pernah lahir di lingkungan teater dan kampus. Orkes Melayu Dangdut Pembangunan, misalnya, tidak memiliki kecenderungan untuk menjadi orkes dangdut lawak, seperti pendahulunya.

Sebut saja Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks (1970-an), Orkes Madun Pengantar Minum Racun (1980-an), atau KornChonk Chaos (2000-an). Modus mereka adalah menggunakan musik berunsur dangdut, digenapi tema-tema kritik sosial, dan dibungkus parodi. Sebaliknya, OMD Pembangunan memainkan musik dangdut secara serius—ditarik dengan napas lagu-lagu Rhoma Irama yang sarat pesan moral dan dakwah.

Saya melihat Adisis mulai mengenakan jaket, merapikan baju, dan memakai tas pinggang. Malam itu, usai kami berbual-bual, dia harus berangkat ke Kaligesing, sebuah kecamatan di Kabupaten Purworejo, tempat dia menjalankan usaha untuk menyambung hidupnya.

Selama beberapa tahun terakhir ini Adisis berhubungan dengan petani buah untuk didistribusikan ke kota. Buah yang ditawarkannya disebut “Buah Nusantara”. Berbeda dengan buah lokal, dia menggunakan rujukan teks semasa kuliahnya untuk mengategorikan ragam buah yang dijualnya.

“Kapan panggung terdekat OMDP?” tanya saya.
“Personelnya lagi ke luar kota. Enggak tahu kapan manggung lagi. Tunggu aja, siapa tahu ada acara di Gelanggang.”

Adisis lantas menyalakan sepeda motor. Ditunggunya mesin motor panas. Sebatang rokok masih menempel di bibirnya ketika dia mengecek tekanan angin pada roda ban. Latihan teater yang harus saya ikuti malam ini rupanya diundur besok.

Sebelum dia pergi, saya pamit.* (Pindai.org)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel