Nomenklatur (Pelajaran Gratis Untuk Pak Wapres)

OLEH: ADHIE M. MASSARDI

LANGIT runtuh. Kiamat seakan sudah dekat. Begitu mungkin yang dirasakan Bapak Wakil Presiden RI H Muhammad Jusuf Kalla ketika melihat Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang dipimpin DR Rizal Ramli berubah nama menjadi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Sumberdaya.

Secara wacana, perubahan nama ini sudah disampaikan ke publik oleh Rizal Ramli sehari setelah dilantik Presiden di Istana Negara. Tepatnya, dalam sambutan acara serah terima jabatan dari Menko sebelumnya, Dwisuryo Indroyono Soesilo, di gedung BPPT, Jalan Thamrin, Jakarta, 13 Agustus 2015.

Wacana perubahan nama ini tentu saja sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dan niscaya sudah disetujui makanya Rizal Ramli menyampaikannya ke publik. Kenapa Presiden setuju? Tentu karena alasan Rizal Ramli sangat masuk akal dan sederhana.

Dalam Peraturan Presiden No 10/2015 (disahkan Joko Widodo pada 21 Januari 2015) yang menjadi landasan hukum serta panduan kerja Kementeriaan Koordinator Bidang Kemaritiman, ada kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Hal ini diatur dalam Pasal 4 (Perpres No 10/2015) yang berbunyi: Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mengoordinasikan: a. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; b. Kementerian Perhubungan; c. Kementerian Kelautan dan Perikanan; d. Kementerian Pariwisata; dan e. Instansi lain yang dianggap perlu. (Karena sudah sepuh, Pak JK mungkin tidak sempat membaca Perpres ini!).

Bunyi "maritim" dalam perspektif masyarakat sudah kadung diidentikkan dengan segala sesuatu yang berbau laut, maka terdengar janggal bila ESDM berada di tengah "kemaritiman". Ditambah dengan tugas Menko Kemaritiman juga melakukan "koordinasi dan sinkronisasi kebijakan penguatan negara maritim dan pengelolaan sumber daya maritim" (Pasal 3 huruf d”) maka menjadi amat sangat logis bila Kemenko Maritim ditambah dengan kata "sumberdaya".

Lalu apakah perubahan nama itu berarti mengubah nomenklatur, seperti dibilang Pak Wapres JK?

Banyak orang belakangan ini menyebut kata "nomenklatur". Tapi sebanyak itu pula orang yang tak paham mengenai mahluk "nomenklatur" itu. Jadi bukan hal yang aneh bila Pak Wapres JK berada di antara orang yang banyak itu.

Nomenklatur adalah istilah untuk aturan penamaan sesuatu. Tata nama. Penamaan yang menjadi konsensus untuk dijadikan pedoman. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) "nomenklatur" artinya: 1. penamaan yang dipakai dalam bidang atau ilmu tertentu; tata nama; 2. pembentukan (sering kali atas dasar kesepakatan internasional) tata susunan dan aturan pemberian nama objek studi bagi cabang ilmu pengetahuan.

Di kalangan ilmuwan botani, dikenal Binomial Nomenklatur, cara/tata nama bagi spicies flora dan fauna dengan menggunakan bahasa Latin yang digagas ilmuwan Swedia, Carolus Linnaeus (1707-1779), dan disepakati di kalangan ilmuwan internasional. Untuk memudahkan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Misalnya, harimau Sumatera menjadi panthera tigris sumatrae, bunga melati kebanggaan bangsa Indonesia menjadi jasminum sambac, sedangkan melati Italia jasminum revolutum, dan melati Australia jasminum simplicifolium.

Memang agak rumit menjelaskan nomenklatur. Makanya bisa dimaklumi bila banyak orang hanya bisa menyebut, sehingga pengertiannya menjadi sesat ketika dihubungkan dengan jabatan.

Jadi tidak ada nomenklatur (tata cara menamai instansi pemerintah) yang diubah oleh Rizal Ramli ketika mengganti "kop surat" instansi yang dipimpinnya agar sesuai dengan landasan hukum (Perpres No 10/2015) yang menjadi pedoman dalam bekerja. Berbeda kalau Rizal Ramli mengubah kata "kementerian koordinasi" menjadi "lembaga koordinasi" atau "pusat koordinasi".

Ingat, Kementerian ESDM sudah ada di bawah koordinasi instansi itu, bahkan sebelum Rizal Ramli menjabat sebagai pemimpinnya. (Karena tidak membaca, atau sudah membaca tapi karena faktor umur orang bisa lupa, harap dimaklumi!)

Ketika membaca "kop surat perubahan" Menko Maritim dan Sumberdaya itu, pikiran Pak Wapres JK pasti (rancu) dikacaukan oleh perubahan nama kementerian yang dipimpin Siti Nurbaya dari "Kehutanan" menjadi "Kehutanan dan Lingkungan Hidup" atau kementerian yang dipimpin Muhamad Nasir yang semula Menristek sekarang "Menristek dan Pendidikan Tinggi".

Pada kedua kementerian yang berubah nama itu, memang ada penambahan kewenangan, yang tentu sudah dilandasi aturan hukum oleh Presiden dan disetujui DPR. Tapi istilahnya tetap bukan "perubahan nomenklatur" sebagaimana sering disebut-sebut banyak orang. Kesepakatan mengubah nama dari "departemen" menjadi "kementerian" baru bisa disebut "perbahan nomenklatur".

Jadi memang beda sekalai antara nomenklatur dengan "tupoksi" (tugas pokok dan fungsi). Tupoksi harus sesuai dengan undang-undang yang mengacu kepada konstitusi UUD 1945.

Begitulah. Kematangan berbangsa dan bernegara memang tidak selalu tercermin dari usia seseorang, dan lamanya berkecimpung di pemerintahan atau di dunia politik.

Tulisan ini didedikasikan kepada Pak Wapres JK dan orang-orang di pemerintahan yang kata-katanya didengar publik. Sehingga kalau salah, bisa menimbulkan gelombang kesalahpahaman yang memalukan negara dan bangsa.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel