Parmusi Nafas Panjang Yang Harus Dihela


                                                                                                                             Chavchay Syaifullah



Chavchay Syaifullah 
Wartawan, Sastawan dan Ketua Dewan Kesenian Banten


Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) tentu bisa menjadi organisasi kemasyarakatan yang gigantik, ikon umat Islam yang prestisius, serta memainkan peran strategis yang mampu mengonsolidasikan potensi kekuatan umat Islam di Indonesia, bila Parmusi secara berkelanjutan terus mengikhtiarkan pemahaman-pemahaman yang tepat tentang keIslaman dan keIndonesiaan. Dua mainstream values ini harus menjadi fundamen yang inevitable dalam pengembangan Parmusi baik di level ideologi hingga ke level program.

Dialog keIslaman dan keIndonesian adalah proyek besar bagi kaum Islam di Indonesia. Ini bukanlah pekerjaan instan. Parmusi butuh nafas panjang untuk menghela aspirasi umat di zaman yang makin sesak dengan kepentingan global ini. Belum lagi kalau bicara tentang sejauh mana Parmusi perlu mengelaborasi antara pemahaman kader-kadernya tentang keIslaman dan keIndonesiaan dengan tindakan-tindakan nyatanya di lapangan keorganisasian.

Parmusi perlu melihat aspek keIslaman yang tidak saja bertumpu pada upaya menempatkan al-Quran, hadits, ijma, dan qiyas sebagai sumber hukum semata, melainkan menjelma sebagai tuntunan hidup yang komprehensif, bahkan bersifat keseharian dan subtil. Tidak saja bersifat individual, namun sekaligus sosial. Hal ini lantaran Islam adalah agama yang bukan saja mengajarkan kebaikan individu, namun juga kesalehan sosial yang diwujudkan lewat gerakan kebaikan berjamaah dalam segala hal. Pada poin inilah kita butuh organisasi semacam Parmusi. Maka Parmusi harus menempatkan posisinya sebagai kendaraan umat Islam yang ingin mewujudkan kerja sosial yang dilakoni secara berjamaah untuk melahirkan kebaikan bersama umat manusia.

Jika pemahaman keIslaman kader-kader Parmusi sudah pada tingkat demikian, maka sepak terjang organisasi memiliki atmosfer yang menyegarkan kehidupan umat Islam di Indonesia. Penghayatan ajaran-ajaran Islam akan mendapat ruang aktualisasinya secara benar. Wahyu-wahyu Allah SWT diamalkan di dalam kehidupan nyata secara berjamaah dalam organisasi yang berasaskan Islam.

Di dalam al-Quran dijelaskan: “Saling menolonglah kalian dalam hal kebaikan dan taqwa, serta janganlah saling menolong dalam dosa dan permusuhan”. (QS 5 : 2). Maka Parmusi sebagai organisasi yang menghimpun kekuatan umat Islam harus mampu merumuskan program-program keorganisasiannya yang tidak saja preventif dari arus besar kejahatan dan kenistaan, melainkan harus proaktif menerbitkan program-program yang membuat umat Islam terdorong untuk berbuat baik secara kolektif dan progresif. Kalau terjadi hal demikian, maka fungsi organisasi kemasyarakatan yang berasas Islam telah berhasil dilaksanakan oleh Parmusi. Parmusi, dengan begitu, tidak saja mencetak pribadi yang saleh, melainkan melahirkan jamaah yang kuat lahir dan batin, menjadi generasi masa depan yang berbuat kebaikan secara bersama dan untuk bersama.

Connecting Muslim: Sebuah Nafas Panjang
Untuk menyegarkan perubahan politik yang terjadi di tanah air pada era reformasi 98, organisasi kemasyarakatan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) dideklarasikan pada tanggal 26 September 1999 di Hotel Ambarukmo, Yogyakarta. Parmusi yang hadir di tahun itu bukanlah sebagai Partai Muslimin Indonesia seperti yang didirikan pada tanggal 7 Mei 1967 oleh 16 ormas Islam.

Sebagai organisasi kemasyarakatan, Parmusi diharapkan bisa hadir menyiapkan agenda-agenda politik yang selama zaman Orde Baru dikerangkeng. Namun demikian, strategi ini tidak sepenuhnya dipahami oleh hampir seluruh kader dan penerus Partai Muslimin Indonesia yang mengklaim sebagai Keluarga Bintang Bulan (Masyumi). Maka yang terjadi secara individual dan sektoral Keluarga Bintang Bulan jatuh ke dalam politik yang dangkal dan bersifat jangka pendek. Mereka tidak saja bergabung pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai utama sesuai fusi partai politik Islam tahun 1973, tetapi menyebar ke banyak partai politik.

Keadaan ini menyebabkan hampir dua windu Parmusi sebagai organisasi kemasyarakatan belum mampu menggeser orientasi gerakannya dari politik praktis ke gerakan yang berorientasi pada dakwah, sosial, ekonomi dan pendidikan. Pada periode kepengurusan Parmusi hasil Muktamar III di Batam, Kepulauan Riau, visi dan misi Parmusi sebagai ormas diorientasikan kepada gerakan dakwah, sosial, ekonomi, dan pendidikan yang dikemas dalam satu balutan strategi sebagai Connecting Muslim.

Pasca Muktamar III di Batam, Parmusi meneguhkan kiprahnya bukan saja menyentuh pada aspek historis dan praktis semata, namun bermetamorfosis sebagai gerakan yang menyentuh masalah-masalah keumatan dalam spektrum yang lebih luas, dengan menetapkan strategi gerakannya melalui paradigma baru, yaitu “Connecting Muslim: Berbasis Dakwah, Sosial, Ekonomi Dan Pendidikan”.

Connecting Muslim sesungguhnya adalah suatu upaya dari gerakan Parmusi untuk lebih menangkap Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal yang membawa pesan-pesan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan bagi semua umat manusia, khususnya umat Islam. Connecting Muslim juga merupakan upaya perekat gerakan dakwah menuju Islam sebagai anugerah semesta (rahmatan lil ’alamin).

Di dalam sejarah,  tokoh Islam berpengaruh di Indonesia seperti  H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, hingga Buya Hamka, kita bisa menyaksikan bagaimana Connecting Muslim menjadi kunci bagi berdirinya Indonesia di atas pijakan pluralisme yang inklusif dan egaliter. Sengketa pemikiran tentang dasar negara Republik Indonesia antara Soekarno dan Natsir bisa diatasi dengan tanpa meninggalkan luka di antara para pihak yang bersilang pendapat

Tidak hanya itu, Connecting Muslim juga bisa menjadi jembatan bagi terciptanya iklim pengetahuan yang sehat di tengah kehidupan umat Islam di Indonesia. Sebagaimana dipahami bahwa Islam merupakan agama yang menempatkan ilmu pengetahuan di tengah kehidupan masyarakat secara terhormat. Simak ayat: “Tanyakanlah hai Muhammad! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dan mereka yang tidak mengetahui?” (QS 39 : 9). Simak juga ayat: “Inilah kamu (wahai Ahl Al-Kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang tidak kalian ketahui?” (QS 3 : 66)

Kedua ayat ini tidak saja menyebut betapa Islam menghormati kedudukan kaum cendekia di dalam masyarakat, melainkan Islam dengan keras menolak suatu pikiran dan pendirian tanpa adanya data objektif dan ilmiah. Seruan al-Quran di atas juga merupakan seruan kepada setiap muslim untuk menciptakan iklim kehidupan di dalam masyarakat yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan..*

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel