Humaira, Narasi Perempuan Pipi Kemerahan


Rini Intama (Foto: Ist)

Oleh Teguh Wijaya

Tangerang kini punya penyair wanita. Dialah Rini Intama. Rini tergolong “penyair Facebook” sebab dia tampil saat FB mulai dijadikan media  ekpresi  oleh masyarakat. Namun Rini bukan euphoria. Disaat banyak yang surut ia justru rajin menulis dan membukukan karya-karyanya berupa novel, cerpen dan puisi.

Rini Intama yang sehari –hari sebagai ibu rumah  tangga itu  pernah  menerbitkan  novel  Panggil Aku Layung. Kumpulan cerpen A Yin, Gemulai Tarian Naz dan beberapa buku kumpulan puisi, diantaranya, Jejak Sajak Rini dan Kidung Cisadane.  Buku puisi Kidung Cisadane menyabet sebagai buku  Terbaik 5 Dewan Kesenian Jakarta 2016.

Beberapa waktu lalu lima puisi Rini Intama  kelahiran Garut, 21 Pebruari ini  dimuat Harian Banjarmasin Post, Minggu, 14 Mei 2017. Lima puisi tersebut mengangkat tema berbeda.  Namun  dari lima puisi  Rini Intama  tersebut, saya sangat tertarik dengan satu puisi yang bertajuk  Humaira.

Saya tertarik karena puisi tersebut ditulis dengan  sederhana dalam bentuk, struktur kalimat dan pengucapannya. Tapi yang lebih menarik adalah pesan puisi ini. Rini agaknya ingin bicara tentang seorang tokoh perempuan yang  berpengaruh dalam perkembangan Islam. 
Perempuan   yang dikarunia wajah cantik dan kulit putih   ini  bila kena sinar matahari akan kemerah –merahan  sehingga Nabi Muhamad, memanggil dengan panggilan humaira (yang pipinya kemerah –merahan). Dialah Aisyah. Tiap muslim dipastikan pernah mendengar namanya.

Saya yakin, Humaira yang  dijadikan  judul dalam puisi Rini ini, yang dimaksud  Rini adalah istri nabi yang bernama Aisyah itu, putri Abubakar . Sebab kosa kata humaira ini sudah sangat lekat dengan Siti Aisyah, istri nabi yang “istimewa” terbut. Dan dasar tafsir  ini diperkuat oleh dua baris kalimat 4 dan 5 bait pertama:

Perempuan yang memenuhi dadanya
dengan kisah cahaya
Tentang wahyu yang dititipkan tuhan


Aisyah memang perempuan beruntung. Sebagai istri nabi ia banyak menyaksikan peristiwa penting yg berkaitan dengan perkembangan islam dan turunnya wahyu kepada suaminya. Sebab Humaira setelah dinikahi Nabi,  dia mendapat kamar di dekat masjid Nabawi, di Madinah. Di rumah itulah  beberapa wahyu turun kepada nabi. Dan Humaira pernah beberapa kali menyaksikan.


Ya memang, banyak   wahyu  turun  periode Madinah sehingga sebagian ayat disebut sebagai  surah –surah Madaniah.  Dan Rini sangat menarik  melukiskan itu seperti dalam baris kalimat 4 dan 5 itu. Hanya saja yang mengganjal, kenapa pada baris kalimat lima kata “tuhan” ditulis dengan huruf kecil?

Narasi Humaira istri Nabi dalam puisi Humaira semakin kuat saat menyimak bait terkahir puisi ini. Dengan kalimat yang plastis, Aisyah digambarkan sebagai berikut:

Humaira, adalah lukisan malam di atas kain hijau
Dialah sang pelipur lara yang dikirimkan jibril
Dalam kasidah perjalanan Mekkah ke Medina

Humaira menjadi istri Nabi setelah Nabi ditinggal wafat istri pertamanya. Ia dinikah ketika umurnya masih  belia dan itu berkat perintah Alloh SWT  melalui Jibril. Rini menggambarkannya  Dialah sang pelipur lara yang dikirimkan Jibril .

Dan Rini benar, Humaira sebagai istri tentunya  juga  menjadi pelipur disaat  Nabi  dakwah dan perang. Selain itu, Nabi sangat mencintai kecerdasan, moral dan taqwanya. Maka ketika suatu kali beliau ditanya, siapa  perempuan yang paling dicintainya? Sebuah versi menyatakan, Nabi menyebut Aisyah si Humaira.

Meski demikian, perjalanan Humaira mendampingi Nabi Muhamad tak selamanya mulus. Dia pernah diguncang fitnah perselingkuhan denga Shafwan. Gara –gara berliannya yang dibungkus kain hijau jatuh dalam perjalanan. Karena capek mencari akhirnya Humaira tertidur. Saat terbangun Shafwan menolong menuntunkan  untanya. Tak lama kemudian fitnah itu beredar dan nyaris membubarkan pernikahannya dengan Nabi. Maka turunlah ayat yang membebaskan fitnah keji itu dari wanita yang berpipi kemerah –merahan.

*Teguh Wijaya, wartawan senior pecinta puisi





Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel