Negara Bubar Itu Biasa


   Teguh Wijaya - (foto: Yitno MB)


Oleh Teguh Wijaya
Jurnalis dan Penyair


Negara besar bubar dan tinggal kenangan, itu tak aneh. Tak ada yg bisa menjamin negara bisa utuh hingga akhir zaman. 

Coba buka buku sejarah dari  zaman old  hingga now. Negara bubar sudah tak terhitung. Majapahit bubar di abad 15, konon akibat dikepung komunitas agama di kiri kanannya. Dari catatan serat Tantu Panggelaran, sebelum Majapahit runtuh  telah berkembang komunitas agama Islam  di sekitar keraton.  Kemudian diduga oleh sejarahwan, kerajaan kehilangan legitimasi rakyat, lalu jatuh dan bubar. 

Demikian pula kerajaan Pajajaran,  juga bubar oleh perkembangan zaman yang tak disangka sama sekali. Paralel  dengan itu, Negara Banten  ambruk lalu  lenyap kini tinggal puingnya saja di Banten Lama, Serang. Dan jauh sebelum itu, Sriwijaya pun mengalami keruntuhan, bubar dan hilang. Padahal  negara ini pernah mencapai kejayaannya hingga memiliki universitas Budha Nalanda, ternama dengan  mahasiswanya berasal dari berbagai negara. 

Tak hanya di Nusantara. Di luar negeri pun sami mawon.  Romawi yang agung  yang menjelajah hingga ke Timur Tengah pun ambruk  tinggal bekasnya. Babylonia,  Mesir Kuno dibawah Firaun,  kerajaan –kerajaan di India hingga ke Mongolia. Pendek kata cukup banyak yang lenyap digerus zaman. 

Di  era modern,   Yugoslavia berkeping setelah Yosip Broz Tito meninggal. Sistem komunis yang diterapkan tak mampu mempertahankan kesatuan negara. Disintregrasi terjadi. 1990  Yugo pecah menjadi  lima. Dan  di era krisis, Presiden  Serbia Slobodan Milosevic melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap  penduduk muslim. Slobodan  dijuluki si Tukang Jagal dan dinyatakan penjahat perang oleh Mahkamah Internasional.

Yang fenomenal adalah hilangnya negara adidaya  Uni Soviet 1991. Menurut mantan Presiden Mikhail Gorbachev kepada wartawan BBC London (2016), Soviet menjadi 8 negara karena pengkhiatan. Katanya, tiap tokoh ingin memimpin, jadilah penghianatan. Dan bubarnya Soviet tak menunggu puluhan tahun, hanya dlm hitungan bulan. Memang ada proses, tapi prosesnya terbukanya pikiran, tak langsung. Proses yang pelan tapi pasti. 

Namun pengamat politik dan masyarakat Rusia menyebut, Uni Soviet berantakan oleh kegagalan Gorbachev menjalankan perestroika dan glasnost. Program perestroika  merupakan program reformasi politik dan ekonomi dan glasnost keterbukaan,  baik kedalam maupun keluar. 

Dengan fakta seperti diatas, jadi jangan panik dan  main  hujat kanan kiri, kalau   ada novel dan intelektual  menyebut  Indonesia akan hilang  sekira 2030, seperti disinggung  novel  Ghost Fleet (Armada Hantu) karya Peter Warren Singer  dan August Cole. Dalam novel itu, sekilas Republik Indonesia  disebut  menjadi negara gagal alias almarhum  sekira  2030.

Prabowo Subianto,  mantan jendral intelek  anak Begawan Ekonomi  Sumitro ini,  tampaknya tertarik dengan  isi novel tersebut. Maka ketika berpidato di UI, ia menyuarakan itu dan heboh. Prabowo tentu tak asal kutip.  Mungkin  ia  tertarik  karena yang menulis novel Armada Hantu itu  bukan pengarang ecek –ecek. Penulis novel itu  diakui sebagai intelektual berpengaruh. Apalagi Peter Warren Singer.

Peter adalah peraih gelar   doctor  di Harvard. Dia juga analis di lembaga think thank terkemuka di Amerika: Brookings Institute. Tak hanya itu,  Peter Warren Singer, 43 tahun merupakan esais kenamaan. Tulisannya  menyebar di semua koran besar Amerika. Sekadar menyebut,  New York Times, Washington Post, Boston Global Globe sampai Los Angeles Times. 

Peter  pun pernah masuk kedunia politik dan  gabung sebagai tim sukses pencalonan Obama jadi Presiden Amerika Serikat. Peter disebut-sebut sebagai orang  berpengaruh di lembaga think thank Brooking Institute di Washington DC. Lembaga yang sudah berumur 100 tahun lebih. Lantaran bobot akademi Peter , tak heran bila  novel Ghost Fleet ini dianggap karya ilmiah.

Mengapa Peter sampai menggambarkan  seburuk itu tentang Indonesia? Boleh jadi, Peter tahu  sebagai entitas kita  memiliki banyak kelemahan, terutama soal kesenjangan sosial yg bisa membuat ambruk negara. Sebagai gambaran, Yusril Ihza Mahendra  pernah menyebut, 74% tanah di Indonesia dikuasai oleh kelompok etnis yang jumlahnya 0,2% dari penduduk Indonesia. Penguasaan ini melalui kongklomerasi HPH, real estate, tambang dan lain –lain. Menurutnya, kesenjangan ini sangat berbahaya dari sisi ketahanan negara. Dan kalau “meledak” , ideologi negara tak akan bisa menolong. Ada istilah, untuk apa ideologi kalau "Lue lagi, lue lagi yg enak"

Memang, siapa saja tentu  tak ingin Indonesia bubar dan  tinggal kenangan. Ini negara  indah dan sudah makan korban tak terhitung untuk merdeka. Hanya saja,  apakah itu ada  dalam pikiran para pejabat tinggi kita? Kalau ada cepatlah bikin kebijakan yag adil, tegakan hukum, kembalikan tanah untuk masyarakat dan lain –lain.

Yang tak kalah penting, kurangi hutang ke Tiongkok. Sebab hutang yang tinggi  akan membuat lemah jati diri sekaligus ekonomi. Menurut Intitute for Development of Economics and Finance (INDEF) , hutang Indonesia terproyeksi sudah tembus Rp 7000 triliun. Sebuah angka fantastis ! tak terbayang sulitnya untuk mengembalikan.  

Tapi kan rakyat harus turut berperan mempertahankan juga? Itu so pasti. Tapi kalau orang dibikin susah apa mau?

Semoga Indonesia tak bercerai, lalu kawin lagi bermetamorfosis dengan nama lain. Dan Indonesia tinggal kenangan.

                                                         ***

    

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel