Maestro Cerpen Hamsad Rangkuti Meninggal Dunia Pagi Tadi


Cipasera -Sastrawan Hamsad Rangkuti meninggal dunia Minggu, 26/8/2018, pukul 06.00 di rumahnya Jln Swadaya, Tanah Baru, Depok, Jawa Barat. Cerpenis yang lahir di Titi Kuning, Johor Medan 7 Mei 1943 ini sudah cukup lama menderita sakit.
Bahkan lima bulan terakhir ini mengalami koma. Keluarganya sudah mengusahakan kesembuhan di berbagai rumah sakit tapi hasilnya nihil.  
 "Mohon doanya dan bantuannya untuk kesehatan Bang Hansad," kata Nur Windasari, istri Hamsad beberapa waktu lalu.

Keluarganya memang kerepotan untuk biaya mantan Pemred Horison ini yang memelukan dana besar tiap harinya.
Hamsad yang nama aslinya Hasyim Rangkuti ini melewatkan masa kecilnya di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Dia suka menemani bapaknya, yang bekerja sebagai penjaga malam merangkap guru mengaji, di pasar kota perkebunan itu. Hamsad juga membantu ibunya mencari makan dengan menjadi penjual buah di pasar dan buruh pencari ulat. Hidup Hamsad diwaktu kecil memang seperti cerpennya, penuh derita.
Keberhasilan Hamsad dalam menulis, dunia sastra Indonesia menempatkan Hamsad sebagai maestro cerpen Indonesia. Tak cuma itu,  penikmat dan peneliti sastra juga banyak memberi apresiasi. Salah satunya,  cerpen Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu" dan Untuk Siapa Kau Bersiul.
Kumpulan  cerpen Hansad  sudah banyak terbit, antara lain, Bibir dalam Pispot (2003), Sampah Bulan Desember (2000), Lukisan Perkawinan (1982), dan Cemara (1982).  Dia juga piawai menulis novel; terbukti melalui karya-karyanya, antara lain, Ketika Lampu Berwarna Merah (1981). Sejumlah karyanya sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, termasuk Inggris dan Jerman.
Menurut Nur Windasari,  fisik suaminya menurun drastis sejak mengalami pendarahan pasca-operasi pemasangan ring di kemaluannya sekitar tahun 2011.

Pada 2016, peraih Khatulistiwa Literary Award (2003) dan Southeast Asia Write Award (2008) itu menderita sakit jantung dan stroke ringan. 
Pada Mei 2018 lalu, tambah Nur, Hamsad sempat masuk rumah sakit untuk menjalani operasi. Alasan kekurangan biaya menyebabkannya tidak kuat melanjutkan perawatan medis yang diperlukan. Kemudian beberapa bulan lalu, saat koma memerlukan pasokan oksigen tiap dua hari sekali. Hamsad juga diharuskan mengonsumsi makanan berupa proten, lantaran kendala fisik yang dideritanya.
"Tiap bulan Abang  butuh 9-10 boks proten. Harga satu boks proten sekitar Rp 256 ribu, atau sekitar Rp 2,3 juta sampai Rp 2,56 juta dalam sebulan,” ungkap Nur Windasari kepada seorang wartawan.
Selamat jalan, Bang Hamsad, semoga Allah menerima sesuai amal kebajikanmu. (Red/ts/rol)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel