Jokowi Bukan Lagi Lawan Prabowo




Oleh Hersubeno Arief 

Debat kedua antar-capres mengubah dengan cepat peta persaingan menuju Pilpres 2019. Prabowo bukan lagi lawan utama yang harus dihadapi Jokowi.

Sebagai inkumben Jokowi  menghadapi sebuah realita aneh. Data, fakta, dan akal sehat tiba-tiba muncul menjadi lawan utama yang mengancam kelangsungan jabatannya.

Ada tiga kluster yang kini tengah menjadi ancaman serius dan tidak boleh dipandang sebelah mata oleh Jokowi.

Pertama, kekuatan masyarakat madani yang direpresentasikan oleh sejumlah organisasi seperti Greenpeace, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Konsorsium Pembaruan Agraria dll.

Kelompok ini muncul menjadi penentang ketika dalam debat kedua Jokowi menyemburkan sejumlah data yang tidak akurat. Jokowi misalnya menyatakan selama tiga tahun terakhir masa pemerintahannya tidak lagi terjadi kebakaran hutan. Fakta ini salah.

Berdasarkan catatan Greenpeace, sepanjang tahun 2015-2018 tetap terjadi kebakaran hutan. Benar angkanya pada tahun 2018 jauh menurun. Tapi klaim tidak terjadi kebakaran selama tiga tahun terakhir tidak berdasar.

Jokowi kemudian meralat ucapannya. Dari semula “tidak terjadi kebakaran,” menjadi “mampu mengatasi kebakaran. Dua hal ini jelas sangat berbeda.

Hanya dua hari setelah debat, kebakaran hebat terjadi di hutan Riau. Pemerintah Riau menetapkan kondisi darurat kebakaran hutan. Tercatat lebih dari 8.00 hektar hutan terbakar. Terparah terjadi di Kabupaten Bengkalis.

Walhi juga menyebut Jokowi melakukan klaim berlebihan terhadap keberhasilannya menangani masalah lingkungan. Jokowi dinilai mengabaikan dampak lingkungan dari pembangunan infrastruktur.

Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat telah terjadi 410 konflik agraria. Luasan wilayah konflik mencapai 807 ribu hektar dan melibatkan 87 ribu lebih kepala keluarga di berbagai provinsi di daerah

Kedua, media massa yang melakukan cek fakta dan data atau live fact-checking debat capres 2019. Kegiatan itu diprakarsai dan didukung penuh oleh Google News Initiative, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan FirstDraft.

Sejumlah media Kompas.com, Tempo.co, Detik.com, Viva.co.id, Liputan6.com, Merdeka.com, KBR.id, The Jakarta Post, Kontan, suara.com, Beritasatu.com, Media Indonesia (Medcom), Times Indonesia, The Conversation, Kabar Medan, Kabar Makassar dan RiauOnline, dan jurnalis AFP bergabung dalam program ini.

Hasilnya ditemukan puluhan klaim data yang tidak akuratakurat. Terbanyak dari Jokowi. Fakta-fakta tersebut ditampilkan dalam cekfakta.com.

Salah satu kesalahan data yang ditemukan menyangkut impor jagung. Jokowi mengklaim pada tahun 2014 impor jagung sebesar 3.5 juta ton. Pada tahun 2018 turun menjadi hanya 180.000 ton.

Berdasarkan data dari badan Pusat Statistik (BPS) jumlah impor jagung pada 2018 sebesar 737.228 ton

Pada hari Selasa (19/2) situs cekfakta.com diretas oleh hacker. Peretasan itu merupakan pertanda ada pihak yang tak senang dan dirugikan dengan keberadaan situs ini. Pihak-pihak itu tak menginginkan ketika kebenaran diungkapkan ke publik.

Ketiga, bantahan dari internal Jokowi, termasuk dari sejumlah pembantu dekatnya. Kluster ketiga ini dampaknya sangat parah. Selain membongkar borok Jokowi, juga menunjukkan adanya krisis kepercayaan.

Bantahan paling telak datang dari Wapres Jusuf Kalla soal status ribuan hektar tanah Prabowo di Kaltim dan Aceh. Jokowi menggunakan data itu untuk menyerang pribadi Prabowo yang mempersoalkan program bagi-bagi sertifikat kepada warga. Target serangan Jokowi untuk merusak reputasi Prabowo.

Jusuf Kalla mengaku bahwa Prabowo mendapatkan tanah-tanah tersebut secara sah dengan prosedur yang benar. Kalla yang “memberikan” tanah itu dengan pertimbangan lebih baik diberikan kepada anak bangsa, ketimbang jatuh ke tangan asing.

Prabowo, kata Kalla, membayar tunai tanah di Kaltim seluas 220.000 hektar sebesar 150 juta dolar. Status tanah tersebut adalah kredit macet di Bank Mandiri.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Aceh Syahrial bahkan menyebut Prabowo seorang pahlawan. Dia menyelamatkan aset tersebut saat terjadi krisis moneter.

Kompas.com memaparkan fakta dilahan seluas 97.000 hektar itu juga sudah dibangun sejumlah infrastruktur oleh pemerintah berupa bandara, gedung perkantoran dan markas batalyon militer. Namun pajaknya lebih dari Rp 1 miliar tetap dibayar oleh perusahaan Prabowo.

Bantahan berikutnya adalah pengakuan Jokowi pergi tengah malam hanya berdua sopir, tanpa pengawalan mengunjungi kampung nelayan Tambak Lorok, Semarang.

Komandan Pasukan Pengamanan Presiden Mayjen TNI Maruli Simanjuntak membantah Jokowi pergi tanpa pengawalan. Hal itu jelas melanggar prosedur tetap (protap) pengamanan seorang presiden.

Maruli mengaku dia yang menjadi sopir Jokowi. Sementara Kepala Staf Presiden (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menjelaskan sejumlah anggota Paspampres disebar dan “ditanam” di sejumlah titik. Tujuannya untuk memastikan keselamatan presiden.

Pergeseran suara undecided voters

Banyaknya ketidak-akuratan data, overclaim, dan serangan pribadi yang dilakukan Jokowi kepada Prabowo diperkirakan akan menggerus elektabilitasnya. Selain itu yang sangat berbahaya adanya pergeseran suara mereka yang belum menentukan pilihan ( undecided voters ).

Elektabilitas Jokowi terancam ketika pemilih yang militansinya rendah ( soft voters ) menjadi golput atau berpindah memilih Prabowo.

Kalangan undecided voters sebagian besar adalah kalangan menengah ke atas yang sangat terpapar oleh informasi. Mereka sangat independen dan bersikap wait and see.

Pemilih dalam kelompok ini secara serius mengamati program kerja apa yang ditawarkan kandidat, dan juga jalannya perdebatan, serta pemberitaan media dan perbincangan di media sosial.

Dengan selisih elektabilitas sangat tipis 5-9% dan yang belum menentukan pilihan sekitar 16%, pergeseran suara pemilih mengambang ini menjadi kunci siapa yang akan memenangkan pilpres.

Media yang selama ini sangat berpihak, atau terpaksa berpihak, mulai berani secara terbuka memaparkan fakta yang berbeda dengan klaim Jokowi. Sangat terasa telah terjadi pergeseran arah kebijakan redaksi.

Para pengelola media tampaknya juga mendeteksi adanya perubahan arus publik yang kian membesar.

Indikatornya terlihat dari beberapa fakta sebagai berikut:

Pemunculan di media Prabowo-Sandi  lebih disukai dibandingkan dengan Jokowi-Ma’ruf.

Berdasarkan pemantauan AC Nielsen rating dan share audience (jumlah penonton) berita maupun informasi yang menampilkan Prabowo-Sandi selalu lebih tinggi dibanding Jokowi-Ma’ruf.

Data pada mesin pencari Google (Google Trends) menunjukkan sehari setelah debat (18/2) kata kunci Prabowo jauh mengungguli Jokowi. Popularitas rata-rata Prabowo 62,97%, Jokowi hanya 37,03%.

Prabowo-Sandi selalu mengungguli Jokowi-Ma’ruf dalam berbagai pooling yang dilakukan media dan perorangan. Hal itu menunjukkan pemilih Prabowo-Sandi lebih militan.

Sejumlah mesin pemantau percakapan medsos juga menemukan data pasangan Prabowo-Sandi selalu menguasai percakapan di dunia maya pasca debat pertama, maupun kedua.

Berbagai fakta itu merupakan ancaman nyata bagi Jokowi. Akal sehat publik sangat terganggu dengan klaim-klaim dan pengakuan Jokowi yang tidak sesuai dengan data dan fakta.

Mereka boleh jadi belum memutuskan untuk mendukung Prabowo. Tapi yang pasti mereka tidak akan memilih seorang pemimpin yang ucapan dan kata-katanya tidak bisa dipercaya.  Ini masalah kredibilitas!*


*Penulis wartawan senior


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel