Jika Stasiun TV dikuasai Politisi



Pertelevisian Indonesia mengalami perkembangan pesat. Sejak TVRI berdiri  1962, agaknya kegandrungan masyarakat terhadap media elektronik ini makin besar. Terbukti dengan munculnya stasiun televisi swasta RCTI 1989, kemudian disusul sejumlah stasiun tv lainnya, antara lain SCTV, ANTV. Di tahun ini, total  stasiun tv nasional jumlahnya sudah 10.  Sebuah jumlah yang cukup signifikan. 

Maraknya stasiun tv nasional tampaknya membuat daerah menuntut perimbangan penyiaran. Lahirlah regulasi penyiaran yang membolehkan berdirinya stasiun tv lokal. Maka begitu regulasi diluncurkan, tv lokal tumbuh bagai jamur di musim hujan. Bukan hanya di kota provinsi, di kota kabupaten kini bermunculan tv lokal,  yakni stasiun televisi yang coverage-nya terbatas, di suatu daerah tertentu. Tercatat jumlah tv lokal seluruh Indonesia sekitar 223 stasiun tv. Jika dijumlah tv lokal dan nasional 230 tv!

Namun meski tv lokal cukup banyak jumlahnya, pengaruhnya ke pusat kekuasaan (Jakarta) kurang diperhitungkan. TV lokal hanya berpengaruh di daerah dimana tv tersebut beroperasi. Sangat berbeda dengan tv nasional. Kehadirannya secara politik sangat diperhitungkan.   Seperti kita ketahui bersama, media tv selain untuk  media hiburan,  juga merupakan  media yang sangat ampuh untuk pembentuk opini publik.  Mac Lucan  berteori, tv mereta stalibatas wilayah negara, bangsa dan suku. TV mampu memasuki dunia privat manusia hingga ke kamar – dan ruang keluarga.

Sifat penetrasinya yang ampuh ini, stasiun tv dipandang memiliki nilai lebih dibanding media konvesional seperti   media cetak dan radio. Tentu, nilai lebih ini dari sisi bisnis hiburan dan informasi. Setiap program yang menarik diminati masyarakat akan mengundang iklan. Maka tidaklah mengejutkan bila sebuah stasiun tv nasional mampu meraup keuntungan hinggaRp 1 trliun per tahun dari iklan.

TV nasional kebanyakan masuk dalam jenis tv keluarga, yang menitikberatkan pada hiburan dan informasi dengan target market  segala umur. Yang masuk kelompok ini antara lain, RCTI, Indosiar, Trans TV , Trans 7,  dan Antv.   TV keluarga memang banyak diyakini para broadcaster sebagai tv yang mudah untuk menggaet iklan dibanding tv berita. Selain itu, cost tv keluarga untuk membuat program lebih murah ketimbang tv berita, yang harus berburu informasi keberbagai penjuru. Program tv keluarga dapat dibuat di studio-studio mini.

Pandangan seperti kurang tepat, sebab tv berita juga memiliki keunggulan dan yang mampu menyedot iklan hingga trilyunan rupiah. Program berita durasi 1  jam yang disiarkan pada jam–jam prime time misalnya, sekali tayang mampu menyedot iklan hinggaRp 1 miliar. Dengan demikian, tv berita jelas memiliki segmen pemirsa yang tidak sedikit.

Pertelevisian kita diramaikan pula dengan stasiun tv berbayar atau berlangganan.  Jenis stasiun tv ini belum populer. Pemirsanya baru segelintir kelas menengah – atas. Boleh jadi karena biaya berlanggannanya per bulan cukup tinggi, hingga Rp 500 ribu. Dan rata-rata “tvsaluran” ini lebih banyak menayangkan program –program hiburan seperti film dan turnamen bola.

Bila tv keluarga dan tv saluran ramai dibicarakan unggulan hiburan beberapa bulan terakhir seperti Keep Smile You, Campur Sari, dan Indonesia Idol, ada juga jenis stasiun tv yang ramai dipertanyakan eksistensinya. Yaitu stasiun tv yang mengusung berita sebagai menu utamanya, yakni  Metro TV dan TVOne.  Ini lantaran pemilik dua stasiun tv tersebut merupakan petinggi partai politik. Metro TV adalah milik  Surya Paloh sementara Abu Rizal Bakrie owner TVOne.

Masyarakat mempertanyakan independensi kedua media tersebut. Sebab seharusnya media dijauhkan dari kepentingan politik tertentu. Politik dalam pengertiankekuasaan. Pers pada fitrahnya pro bono public emi kepentingan public, bukan untuk memuaskan kepentingan segelintir orang. Apalagi dalam Pilpres kali ini, kedua pemilik stasiun tv tersebut saling bersebrangan. ARB mendukung Prabowo – Hatta dan Surya Paloh merapat ke Jokowi – JK.  Dengan demikian, kedua stasiun tv itu tak akan obyektif dalam memberitakan perhelatan memilih presiden itu.Padahal masyarakat membutuhkan informasi obyektif, sebagai bahan untuk menentukanpilihan, agar Pilpres berjalan jurdil.

Masyarakat memang tak memiliki pilihan informasi yang obyektif dalamPileg dan Pilpres kali ini. Bayangkan saja, semua tv nasional sudah dikuasaio leh politisi yang juga pemilik stasiun tv. TV berformat keluarga akhirnya juga ikutan dalam dukung-mendukungp artai.

Memang menjadi media partisan tak ada larangan. Regulasitak menyebutkan larangan itu. Namun secara etik jurnalistik jelas ditekankan, wartawan Indonesia harus bersifat professional:  obyektif dan menjaga netralitas.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel