Kisah Burung Bughats dan Doa Anak Palestina
Sabtu, 06 Januari 2018
Edit
Induk Bughats |
Oleh Heryus Saputro
Suatu sore di Masjid Nabawi, saya terselip di antara puluhan jamaah yang belakangan saya tahu berasal dari Palestina. Tak cuma pria dewasa, tapi juga ada remaja bahkan beberapa masih terbilang anak-anak. Satu hal, beberapa jamaah melengkapi diri dengan tongkat penyangga di ketiak, karena salah satu tungkai kakinya telah diamputasi. Beberapa yang lain tampak mengenakan kaki palsu.
Bertanya ke kiri dan kanan, saya dapat penjelasan bahwa meraka adalah keluarga para martir dan korban perang yang terus berlangsung di Palestina. Mereka merupakan undangan khusus Raja Salman, bagian dari King’s Guests Program for Haj and Umrah yang ada sejak baheula. Ingat, Bung Karno (dan banyak lagi pejabat Indonesia tempo doeloe bahkan sekarang) juga pernah diundang Raja Arab Saudi, yang antara lain membuat Padang Arafah relatif hijau oleh pohon-pohon asli Indonesia yang kini populer sebagai Pohon Soekarno.
Anak Bughats yang dicurigai induk |
Masjid Nabawi terbuka bagi muslim sedunia. Tak ada jamaah yang dibedakan di dalam masjid yang luas, nyaman dan adem itu. Semua bersaudara. Saling sapa, saling berbagi salam satu sama lain, juga berdoa bareng-bareng memohon ridha Allah SWT.
”Ya Allah, Ar-Razaq, berilah kami rezeki sebagaimana Anda memberi rezeki kepada bughats,” begitu antara lain (terjemahan) doa yang terlantun dari bibir seorang remaja Palestina yang duduk disamping saya. Doa umun dan biasa diucapkan siapa saja. Tapi, yang bikin saya penasaran, pemuda Palestina (juga anggota vr
rombonannya yang lain) terus menyebut kata ’bughats’ dalam doa memohon rezeki dari Allah SWT.
Saya terkejut ketika tahu bahwa ’bughats’ tak lain adalah piyik atau anak burung gagak yang baru menetas dari cangkang telurnya. Sedangkan gagak dewasa, yang dalam dunia internasional disebut crow ataupun raven (di ranah Betawi disebut burung gaok), di dunia Arab disebut sebagai ghurab.
Saya suka dunia fauna/hewan. Suatu saat dalam kesempatan ke Munchen (Munich) di Bavaria, Jerman, saya - bersama Mas Bambang Bujono (Majalah Tempo), Dhia Prekasa Yudha (Harian Kompas), Titi Irawati (Majalah Sarinah), Herso (TVRI) dan Luki (eks wartawan Majalah Tempo yang bekerja di Kedubes Jerman di Jakarta) – berkunjung ke rumah kenalan Luki di desa di pinggir Munchen.
Di sebuah dahan pohon di pekarangan rumahnya, saya temukan sarang burung gagak dengan beberapa ekor piyik yang baru saja menetas. Uniknya, sejak telur-telur menetas, induk ghurab ogah singgah ke sarang. Ia justru menclok di tunggul kayu tak jauh dari sarang, memperhatikan dan membiarkan para bughats mencicit-cicit lapar. Ini perilaku umum di dunia gagak.
”Tiada induk gagak datang ke sarang bila telur-telurnya baru menetas,” ungkap sohib kami yang orang Jerman, dan pernah lama menjabat tugas di Kedubes Jerman di Jakarta.
Berbeda dengan ghurab yang (selalu) berbulu hitam, bughats atau piyik gagak berbulu halus dengan warna seputih salju. Konon, karena beda ’warna kulit’ ini maka induk ghurab curiga bahwa piyik-piyik itu ’bukan anakku’. ”Masa Ibunya hitam anaknya putih bersih,” begitu barangkali pemikiran induk ghurab, yang karena itu ia menghindar, menjauh dari sarang, sambil terus mencermati piyik-piyik yang membuatnya heran itu.
Lalu bagaimana para bughats mendapat makanan dan minuman? Seperti doa anak-anak Palestina di Masjid Nabawi sore itu, ”Ya Allah, Yaa Razaq, berilah kami rezeki sebagaimana Anda memberi rezeki kepada bughats.” Allah SWT adalah Ar-Razaq, Sang Mahapemberi Rezeki. Tak ada mahluk ciptaanNya yang tak Ia beri rezeki. Juga para bughats yang (naluriah) ditingalkan para induknya.
Allah SWT menciptakan sesuatu yang ilmiah, yang manusia bisa menyaksikan dan belajar. Allah menciptakan ’bau’ tertentu di tubuh anak gagak. Bau atau aroma yang sangat khas, spesifik, menguar keluar dari tubuh bughats, yang merangsang dan mengundang datangnya ragam serangga ke sarangnya.
Ulat, lalat, kupu-kupu, lebah, kecoa, belalang dan lain-lain serangga berdatangan. Itulah jawaban Allah SWT atas zikir yang diciap-ciapkan anak-anak gagak, yang lalu mematuk dan melalap apapun serangga yang datang, sebagai makanan dan minuman yang dijanjikan Allah, Sang Mahapemberi Rezeki.
Kejadian itu berlangsung beberapa hari, hingga bulu halus putih bughats tumbuh menjadi bulu-bulu biasa yang berwarna hitam, dan karenanya sang induk (ghurab) tersadar bahwa piyik-piyik itu memang anaknya yang sama berbulu hitam.
Subhanallah!
(dikutip dari rancang buku Kisah Kasih Haji - JIN IFRIT & SENDAL JEPIT" - Heryus Saputro Samhudi)