Kejarlah Daku, Kau Ku Fitnah


Tak terbayangkan kata-kata ini keluar dari mulut Prabowo. Balaslah fitnah dengan budi pekerti yang baik, katanya saat kampanye di Makassar. Di lain waktu ia bilang, jika dihina, dan dilecehkan,jangan dibalas. Tetap tegar dan ikhlas, karena perjuangan kita di jalan yang benar. 

Dalam konteks  komunikasi politik, ini ujaran yang luar biasa bermakna.
Prabowo seolah bukan berteriak sebagai politisi, tapi sebagai agamawan dan moralis. Ia jaga etika dengan teguh, dan dalam banyak hal menginspirasi pengikutnya.

Prabowo tidak sedang menyindir rivalnya, yang sebelumnya teriak lantang,”Saya akan lawan,”.

Dalam kontestasi yang kian sengit, uuduhan, fitnah,bullyan dan sejenisnya, memang sebuah keniscayaan. Ia bisa datang silih berganti, dari mana saja sumbernya.  Di sinilah, cara menyikapi gelombang fitnah itu menentukan di kelas mana seorang pemimpin berada. Hampir dalam setiap pidatonya,sepengetahuan saya,tak ada curhatan cengeng terkait fitnahan yang menimpa Prabowo.

Energi itu kemudian ia ‘transfer’, dan kita menemukan kenikmatan menonton setiap gerak-gerik capres. Pelajaran ini,sejatinya sudah kita dengar dari kisah perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. Bagaimana ia bersabar menyuapi pengemis buta dari suku Yahudi, yang kerjanya tiap hari memfitnah dirinya di pasar. Bahkan saat nabi sedang berdakwah dan dilempari hingga giginya tanggal di Thaif, Jibril gemas bukan kepalang dengan kesabaran nabi.

“Kalau mau,hai Muhammad, dua gunung akan saya timpakan ke mereka,”kata Jibril.

“Jangan jibril. Jangan…Boleh jadi sekarang mereka menolak saya. Tapi siapa tahu anak cucu mereka menerima ajaran saya,”kata nabi.

Prabowo sadar, semakin tinggi perjuangan, semakin deras angin yang menerpanya. Namun satu hal yang selalu dipegang teguh, ia memang tidak mau sesama anak bangsa saling berantem. Maka kata-kata ‘Saya lawan yang telah memfitnah saya’, dan sekitar itu, amat ia hindari. Lagi pula siapa yang mau dilawan,kalau semua adalah saudara sebangsa sendiri?

Kalau ditengok lebih teliti, orang yang bilang “Saya lawan”, juga seperti hendak shadow boxing. Mau meninju bayangan sendiri? Yang menghina semua sudah masuk bui. Yang menulis buku soal keterkaitan dia dengan partai terlarang, juga sudah meringkuk di penjara. Emak-emak viral bilang, kalau menang azan bakal dihapus juga langsung dicokok polisi.

Ahmad Dhani sudah tak bertaji. Habib Bahar sama saja. Mungkinkah mau menggebuk mereka para pembuat meme, sebagai pengejawantahan pesan “Akan saya lawan?”.

Coba bandingkan dengan Prabowo. Puluhan laporan diantar, semua mangkrak di laci meja aparat. Izin tempat lokasi pertemuan semua dipersulit, karena pemilik tempat takut terkena imbasnya. Ponsel-ponsel pendukungnya, dari Neno Warisman hingga Haikal Hasan, di hack. Tapi sang jenderal tenang-tenang saja.

Saya faham betul situasi psikologis ini. Barangkali inilah yang membuat Sandi lebih memilih fokus blusukan,daripada melaporkan fihak-fihak yang selama ini menuduhnya bersandiwara. Ia tidak pernah curhat merasa difitnah,tidak cengeng menghadapi kerasnya dunia politik,sebegitu jauh tidak pernah mengambil kesempatan untuk jadi playing victim, dengan katakanlah misal bilang elektabilitas saya turun gara-gara difitnah.

Momen periode kedua petahana kali ini, dari sisi ambrolnya dukungan,barangkali membuat pihak-pihak terkait hilang kendali.  Coba tengok iklan di TV. Bolak balik muncul jualan kartu, seolah tidak pede selama 4,5 tahun  kampanye.

Bandingkan dengan era Pak Beye. Iklan cukup dengan nyanyian jingle Indomie,yang diubah syairnya dan melempar pesan tentang indahnya alam Indonesia. Nuansa iklan pilpres baru terasa, setelah lagu selesai, dengan kata “lanjutkan”.

Lantas dimana letak kesalahannya? Ambrolnya dukungan,sudah tentu akumulasi kekecewaan panjang masyarakat. Janji-janji yang tak dipenuhi,gesture pemimpin negara besar yang kurang berwibawa,ketidakadilan hukum,ekonomi yang amburadul,dan lain-lain. Maka,jalan satu-satunya untuk menahan semakin ambrolnya dukungan adalah dengan mengancam. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh SBY jelang periode kedua.

Kejarlah daku kau ku fitnah –mengejar elektabilitas dengan jalan memfitnah,salah satunya kasus nenek renta yang difitnah menerima uang Rp 500 ribu untuk naik ke podium kampanye Prabowo, menjadi trend.

Maksudnya,dengan memfitnah  Prabowo dan pendukungnya, pihak yang memfitnah berharap jagoannya “naik kelas”.  Sebab, saat ternak fitnah ini terus menggelora, diujung ada kandidat yang terus menerus bakal di down grade dan up grade posisinya. Satu bilang “ Saya akan lawan”, satunya bilang,”Jangan lawan,tapi balas dengan budi pekerti yang baik”.

Prabowo dengan begitu menjadi simbol –terlepas dari fitnah yang meragukan ke-Islamannya- jika ia benar-benar telah meneladani akhlak Nabi Muhammad. Ia juga secara tidak langsung mengadopsi ajaran Ahimsa Mahatma Gandhi, yaitu berpolitik dengan menjauhi cara-cara kekerasan (A=tidak Himsa=kekerasan).

Jika orang yang selama ini difitnah kasar dan pemarah ternyata lebih suka berjalan di rel perdamaian, saya baru sadar,makna inilah yang lebih penting daripada ingar bingar kontestasi pilpres,yang cuma urusan dunia. Menang atau kalah, Prabowo sudah menanam “pengajaran” luhur, yang akan terus melekat dan jadi filosofi tak terpermanai harganya, di setiap dada pendukungnya. Tabik…( Ariful Hakim)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel