Noblesse Oblige, Selamat Milad Ibu Sukartini S. Djoyohadikusumo


Sukartini dan Prabowo

Oleh Fahri Hamzah 

Saya mendengar Sebuah Pidato  berjudul “Noblesse Oblige” tadi sore, Sabtu 23/3/2019, sekitar pukul 14:30 saya mendengarnya langsung. Ini bukan pidato politik seorang politisi, atau pidato seorang jenderal, tapi sebuah pidato Ulang Tahun ke-100 ibu Sukartini S. Djoyohadikusumo.

Ya, ibu Tien (demikian beliau dipanggil) sedang berulang  tahun ke-100. Beliau sebetulnya lahir 19 Maret 1919. Tapi tuan rumah, “Keponakanku yang berani” (My Brave nephew), sebutan beliau kepada Prabowo, tuan rumah acara tadi baru bisa merayakan hari ini. 

Ibu Sukartini adalah adik kandung Prof. Sumitro Djoyohadikusumo yang merupakan ayah dari Prabowo.  Saya diundang melalui Sdr Fadli Zon karena beberapa kali ketemu dan tertarik dengan beberapa pandangan saya di media massa. Maka pidato beliau Noblesse Oblige memukau saya.

Pidato itu tidak saja memukau karena disampaikan oleh orang yang punya umur 100 tahun. Tapi karena makna yang terurai. Noblesse Oblige adalah frasa bahasa perancis yang secara singkat maknanya “kehormatan mendatangkan tanggungjawab”.  Saya tergetar mendengar uraian ini.

Kata ibu Tien, falsafah Noblesse Oblige sering ia dengar dari ibunya, dan rupanya menjadi bagian dari nilai yang mereka hayati. Entah, tiba-tiba beliau ingin menyampaikannya pada hari ulang tahunnya, di samping tuan rumah Prabowo yang sedang meminta mandat dari rakyat.

Bagian yang paling mengharukan dari pidato itu adalah ketika beliau mengajukan pertanyaan kepada Prabowo. “Setelah saya sampaikan soal Noblesse Oblige, saya ingin bertanya kepada keponakan saya yang pemberani, apa pendapatmu?”.  Saya duduk di sisi Prabowo, ia seperti diuji.

Calon presiden itu bangun, memenuhi permintaan perempuan yang lahir di awal abad lalu dan melalui INDONESIA, sejak sebelum merdeka, perang dan bergolak menjadi seperti sekarang. Prabowo mulai dengan pelan. Ia mengurai kembali makna Noblesse Oblige yang juga sering ia dengar.

Kata Prabowo, “Demikianlah tugas kita, kita yang memahami karena ilmu, belajar tentang ke-kesatriaan dan akhirnya memiliki kemuliaan, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memikul tanggungjawab kepada kepentingan rakyat dan masyarakat kita”. Pada bagian akhir ia terhenti.

Dan Prabowo melanjutkan, dalam suasana haru, hening sesaat, ibu Suhartini menatap kepadanya, saya tertunduk, “Maka, yang saya sering dengar dari ayah saya, adalah kalau kita harus menolong, kita harus menolong rakyat (Prabowo terhenti)”, seisi ruangan mengikuti keharuan.

Dan lanjut Prabowo masih dalam suasana hening itu, “Maka kalau kita harus membela, kita memilih untuk membela rakyat kita yang miskin”, ia terhenti lagi dan semua bertepuk tangan. Demikianlah Responnya atas pidato ulang tahun "Noblesse Oblige" ibu Tien yang penuh keharuan.

Terus terang, mata saya berkaca-kaca di sebelah calon presiden yang paling banyak difitnah oleh musuh-musuhnya itu. Saya tahu Prabowo sejak kuliah dan saya tahu pidatonya sejak dulu tidak berubah. Ia ingin membela rakyat pada saat yang sama, ia ingin disingkirkan dari gelanggang.

Sementara musuh Prabowo jelas motifnya, mereka ingin selalu menunggangi kekuasaan agar terus bisa melayani diri dan kelompoknya. Mereka tidak peduli rakyat dapat apa, mereka ingin terus pesta pora di atas dusta dan kebohongan.  Padahal kemuliaan berakibat tanggungjawab.

Saya cukup umur untuk memahami mana pidato yang melayani elite dan kelompok tertentu dan mana pidato "Noblesse Oblige' seperti yang disampaikan oleh ibu Pejuang berusia 100 tahun itu. Prabowo telah meyakinkan banyak orang, ia mengerti bahwa kemuliaan melahirkan tanggungjawab.

Selamat Ulang Tahun ke-100 Ibu Sukartini S. Djoyohadikusumo. Hari ini saya melintas memori panjang bangsa ini untuk menegakkan kemuliaan rakyat dan bangsa. Kita doakan juga pak Prabowo dan pak Sandiuno sabar melalui hari-hari akhir kampanye, tetap dengan prinsip Noblesse Oblige.

@Fahri hamzah, penulis adalah Wakil Ketua DPR- RI

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel