Mantan Waprem Kompas Meninggal Dunia


Pertama kali saya mengenalnya secara langsung pada sekitar Januari 1982. Ketika itu saya harus menjalani tes wawancara yang dilakukan para petinggi Kompas termasuk Pak Jakob Oetama (JO) dan Mas J. Widodo di sebuah ruangan.

Pak Polycarpus Swantoro (PS) - Pak Swan - selalu berbicara lebih lantang dan suara tawanya juga lebih keras ketimbang Pak JO dan seluruh jajaran lainnya di Harian Kompas. Sebagaimana kita tahu, JO dan PS adalah pasangan pengendali dan penentu perusahaan raksasa Kelompok Kompas Gramedia (KKG) sepeninggal Pak Ojong PK, yang saat itu sudah lama meninggal dunia.

Saya lupa detil wawancara terakhir akhir Januari itu, sebelum calon pewarta diputuskan diterima bekerja di Harian Kompas. Yang saya tidak pernah lupa adalah pernyataan JO yang kemudian selalu diulangnya pada setiap kesempatan. “Kalau pengen kaya jangan jadi wartawan tapi jadilah pengusaha atau cari mertua yang kaya he..he..he...”

“Mas Noorca tidak merasa risih bekerja di Kompas yang di luaran selalu dibilang “komando pastor”?” kata PS.

Tentu saja saya jawab tidak masalah karena itu hanyalah penafsiran orang luar.

PS menjelaskan filosofi perusahaan yang kendati ada hierarki tapi pengelolaannya tetap dilakukan secara  kolegial kekeluargaan. Karena itu semua dipanggil “Mas” atau “Mbak” tidak ada sebutan Bapak atau Ibu. Namun pada prakteknya ada dua orang yang lebih afdol dipanggil “Pak” karena posisinya yakni Pak JO dan Pak PS.

“Sebagai konsekuensi dari kolegialitas itu, maka selama ini tidak ada karyawan/wartawan Kompas yang menonjol atau ditonjolkan secara pribadi. Semua harus low profile baik ke dalam maupun keluar. Karena Kompas sebagai lembaga harus selalu dijaga harkat dan martabatnya. Jadi, Kompas tidak seperti media lain, yang memungkinkan setiap pribadi menonjolkan individu masing- masing. Semoga Mas Noorca cocok dan dapat bekerjasama dengan kami,” kata PS.

“Iya Pak Swan insyaallah. Semoga Kompas juga cocok bekerjasama dengan saya,” kata saya disambut tertawa yang hadir.

Dan per 1 Februari 1982 saya pun resmi diterima sebagai pewarta Kompas dengan masa percobaan enam bulan dan memasuki sistem rotasi tiga desk per dua bulan. Gaji saya waktu itu per bulan sekitar Rp 150 ribu dan naik menjadi Ro 180.000 setelah diangkat sebagai karyawan tetap. Gaji itu baru berubah setelah saya resmi menjadi Pemimpin Redaksi MB Jakarta-Jakarta empat tahun kemudian.

Hierarki Kompas ketika itu di bawah JO adalah PS. Di bawah mereka ada Alfons Taryadi, J. Widodo, Raymond Toruan dan Robby Sugiantoro. Kepala Desk-nya antara lain August Parengkuan, Indrawan SM, Kris JB, Piet Warbung, Valens Doy, Sumohadi Marsis, Purnama Kusumaningrat, dan Kartono Riyadi (foto) dll. Sedang Kepala Desk Malam/Editor Bahasa adalah Luwi Ishwara, Mamak Sutamat dan Bambang SP.

Putaran pertama saya bekerja di desk Nasional urusan politik dalam negeri dan keamanan dengan Keoala Desk August Parengkuan (?). Pada putaran kedua saya memilih Luar Negeri di bawah Piet Warburg dan seruangan dengan Rikardus Bagun dan Pak Affandi. Dan terakhir Desk Kebudayaan di bawah Kris JB bersama Efix Mulyadi dan Don Sabdono (Bre Redana) tapi saya tetap bekerja di ruangan Desk Luar Negeri dan kemudian ketika diangkat sebagai karyawan tetap, saya memilih Desk Luar Negeri, namun secara rutin dan sukarela saya meliput untuk Desk Kebudayaan dan Kompas Minggu.

Dalam rutinitas pekerjaan, saya jarang berhubungan dengan PS. Sesekali saya konsultasi dgn PS kalau kebetulan tidak ada senior yang bisa dimintai advis ketika itu. Saya juga jarang dipanggil khusus ke ruangan PS di lantai atas. Saat itu jajaran redaksi masih menempati gedung tua di sisi kiri gerbang masuk dan tembus ke belakang hingga ke ruang percetakan.

Dalam perjalanan waktu saya ternyata lebih sering berhubungan langsung dengan JO yang berkantor di ruang atas gedung  Gramedia, dan setiap sore/malam JO mendatangi redaksi Kompas. Namun semua keputusan penting internal harian Kompas ditentukan oleh PS (tentu atas persetujuan JO). Termasuk ketika timbul gerakan pembentukan Serikat Wartawan Kompas yang dimotori Albert Kuhon dkk.

Tandem JO - PS tampak berjalan kompak dan serasi. (Seperti tandem Goenawan Mohammad- Fikri Jufri di MBM Tempo menurut kesan saya). Bila JO selalu tampil kebapakan luwes diplomatis dan sangat Jawa, sebaliknya dengan PS. Pelbagai keputusan dan pernyataan keras internal selalu datang dari PS bahkan kalau perlu dengan menggebrak meja. Tak aneh bila kami lebih “ngeri” menghadapi PS ketimbang JO. Karena dengan PS tidak ada kompromi. Hanya ada Iya atau Tidak. Hanya tetap kerja di sini atau sila keluar. PS adalah Jawa yang tidak Jawa. Sesuatu yang sangat langka.

Toh, setiap kali ada permintaan/keputusan JO menyangkut saya pribadi terutama dalam penugasan, saya tetap melaporkan kepada PS (yang selalu mendukung apa pun keputusan JO untuk saya). Termasuk ketika saya diminta langsung oleh JO untuk mengelola dan menerbitkan kembali majalah Jakarta-Jakarta menjadi Majalah Berita Bergambar.

Saat persiapan MBB JJ mulai Oktober 1984 hingga terbit perdana Mei 1985, status saya masih karyawan Kompas. Dan hubungan pribadi saya dengan PS hampir tidak pernah ada masalah.  Termasuk seingat saya, ketika akhirnya saya mundur dari jabatan Pemimpin Redaksi MBB JJ pada 1 April 1989, dengan pelbagai kehebohannya saat itu, saya juga tidak berbicara atau konsultasi dengan PS.

Yang pasti, ketika akhirnya secara resmi saya pindah dari Kompas ke MBB JJ per 1 April 1985, saya pun pamitan kepada PS:

“Pak Swan, saya mohon pamit dan restunya. Kalau saya berhasil atau bila saya ternyata gagal membangun MBB Jakarta-Jakarta, saya tidak akan pernah kembali lagi ke Harian Kompas. Ini tekad saya pribadi,” kata saya penuh semangat.

PS hanya tertawa. “Kembali lagi juga tidak masalah. Selamat bekerja!” kata PS. Dan janji saya kepada PS juga saya tepati kendati begitu keluar dari MBB JJ  ada yang menyarankan supaya saya kembali lagi ke Kompas.

“Selamat jalan Pak Swan. Ketegasan dan kelugasan Anda memimpin KKG bersama Pak JO, telah sangat membekas. Baik terhadap perusahaan maupun terhadap saya pribadi. 87 tahun bukanlah usia dan pengabdian yang singkat. RIP. 🙏👍🙏”

Noorca M Massardi
Bintaro 110819
(Foto Tribun)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel