Anies Begini, Yang Diatas : No Way


Oleh Ariful Hakim

“Kesalahan” Anies Baswedan menjadi Gubernur Jakarta itu ada dua. Pertama, dia tidak didukung pemerintah pusat. Kedua, dia lebih pintar mengantisipasi serangan virus corona dibanding pejabat diatasnya. Setidaknya, Anies sudah punya misi dan visi menghadapinya, ketika pejabat lain dan para menteri masih santuy. Masih melihat orang tergeletak di jalanan Wuhan sebagai sebuah drama komedi. Tanpa antisipasi.

Maka, Anies dirikan crisis center, dicibiri. Ia yang pertama kali angkat bahaya corona, dibully. Dianggap bikin resah. Dibilang mimpi. Begitu corona datang beneran, semua terhenyak. Terdiam membisu. Lalu lintang pukang bersilat lidah. Bilang sudah siap-siap dengan bantuan aparat intelijen (seperti musuh serdadu saja).

Keterburu-buruan jelas terlihat. Banyak dokter menjerit kurang alat pengaman diri (APD). Pemerintah lantas impor dari China (yang ternyata made in Indonesia). Artinya, karena kurang antisipasi, barang itu sudah diekspor duluan, kemudian kita impor lagi. Boro-boro bicara soal keringanan kredit bagi semua. Malah hanya buat pengidap positif corona saja.

Pemerintah pusat bilang social distancing, Anies terapkan pembatasan MRT,LRT. Kemudian dibatalkan, karena pemerintah tak mau. Terbukti sekarang, pemerintah malah mau menerapkan darurat sipil, supaya orang lebih berdisiplin lagi mematuhi social distancing. Lantas apa urgensinya melarang pembatasan operasional MRT, LRT, alih-alih mensosialisasikan kebijakan itu agar orang tidak lagi berdesak-desakan?

Disinilah Anies unggul. Pikirannya menerawang jauh ke depan. Satu lagi contoh. Pemerintah mengeluh, dalam dua minggu orang mudik sekitar 14 ribu dari Jakarta. Pergerakan itu membuat virus corona ‘berjalan-jalan’ jauh. Anies segera terapkan  kebijakan, agar bus Antar Kota Antar Propinsi (AKAP)  tidak lagi beroperasi dari dan ke Jakarta. Maksudnya, agar arus mudik bisa dibatasi. Tapi baru saja diumumkan, Plt. Menteri Perhubungan membatalkan.

Ada kesan kontradiktif. Atasannya mengeluh,menteri sebagai bawahannya justru mendukung arus mudik tetap ada. Sekarang,permintaan Anies untuk local lockdown Jakarta ditolak pusat. Padahal ia sudah menyiapkan semua skemanya. Termasuk alur pemberian subsidi bagi warga miskin. Berdasar hitungan Dewan Guru Besar FKUI, butuh 4 Triliun untuk bantuan pekerja informal di Jakarta. Jakarta punya duitnya. Tinggal pusat memberi  lampu hijau.

Saya tidak faham alasan penolakan itu karena melihat India rusuh. Padahal India lockdown nasional.Jumlah penduduknya 1,3 milyar. Wajar jika lockdown timbulkan masalah. Jakarta paling 10 juta. Itu pun semua sudah diantisipasi Anies. Apakah pandemic corona di Jakarta akan jadi arena balas dendam politik masa lalu? Wallahu A’lam.Hanya Tuhan yang tahu.

Bau-baunya memang ada kekuatan tersembunyi yang maha dahsyat. Mungkin pemilik modal tak terbatas yang sakit hati karena proyek-proyeknya dibatalkan Anies. Inilah yang bikin para buzzer bayaran terus menyerang apapun kebijakan Anies. Apakah tangan-tangan para pemodal raksasa ini sampai juga ke tangan para politisi penentu kebijakan? Wallahu A’lam juga.

Jakarta sudah kritis. Dinas pemakaman DKI Jakarta merilis angka 283 orang yang dimakamkan sesuai protocol covid-19. Yaitu dimakamkan hanya 4 jam setelah meninggal dunia. Jenasah dibungkus plastik. Para pengubur memakai baju penangkal virus. Data para korban itu berbeda dengan data keluaran Tim Percepatan Penanggulangan Covid-19.

“Ini karena mereka belum dites corona tapi sudah meninggal. Atau sudah dites tapi belum keluar hasilnya keburu meninggal. Jadi tidak dimasukan secara formal sebagai korban corona,”kata Anies.

Dengan asumsi angka dinas pemakaman itu, kalau case fatalitiy rate 3 persen, maka potensi angka kasus positif  Jakarta per 29 Maret adalah 9.430 kasus. Sebuah angka yang sangat besar. Dan Anies fokus berjuang dengan segala daya;menjadikan hotel milik pemprov sebagai penginapan gratis para tenaga medis.Meliburkan sekolah,menutup tempat hiburan malam,tempat wisata, menyemprot desinfektan,dll.

Sekarang rakyat kecil cuma bisa bilang,”Terserah elu dah,bapak-bapak yang diatas,”.Inilah konsekwensi jika perhatian pemimpin hanya pada kursi,bukan keselamatan rakyat. Apapun kebijakan yang dilakukan pejabat dibawah,jika itu berpotensi membuat nama yang bersangkutan moncer,kalau bisa sedini mungkin “dibunuh”. Tidak boleh ada matahari kembar. Dan matahari itu bernama Anies Baswedan. Sementara rakyat cuma bisa merintih,lantaran mumet kena imbas virus laknat ini.

*Penulis mantan Pemimpin Redaksi C & R.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel