I Hate You, Mas Didi Kempot
Rabu, 06 Mei 2020
Edit
Didi Kempot |
“Saya sedih banget. Makjleb serasa nusuk dalam hati jika dengar lagu-lagunya dia. Makanya kadang saya trauma,”kata saya, rame, di grup WA jurnalis.
Teman-teman mentertawakan. Lebay. Norak. Tapi belakangan saya bisa faham, jika generasi seusia saya saat putus cintrong dulu, ramai-ramai menggandrungi lagu-lagu Lord Didi. Mungkin syair-syairnya jadi semacam katup pelepas rasa gundah. Nangis-nangis dah sekalian. Ada katarsis. Dalam kredo mereka,daripada disakiti, mending dijogeti. Plong. Di sini pelajaran pertama saya dapat.
Bayangkan. Jarak ketika saya menangis dalam bus AKAP, hingga tahun-tahun terakhir Didi Kempot jelang ajal menjemput, mungkin sekitar 20 tahunan. Tapi selama itu, ia tetap konsisten bermain dijalur syair lagu sedih. Melankolis. Biarpun awal-awal lagu Stasiun Balapan kondang, hanya orang-orang baperan seperti saya yang menggemarinya.
Konsistensi Didi berbuah manis. Penggemarnya bukan saja lintas generasi, tapi juga lintas etnis. Bagi orang yang bergerak di industri hiburan, kiat Didi mungkin biasa saja. Maksudnya, seperti Opick jualan lagu religi,plus pakai serban, meski tindak tanduknya kerap lebay kalau soal agama. Tapi itulah jualannya. Dalam kasus Didi, keberadaannya seolah secara pas mengisi segmen yang ditinggalkan Manthous, dan ia sukses menjamu dahaga etnis Jawa, yang bertebaran di mana-mana.
Konsistensi Didi mengangkat basa ngoko Jawa, juga menunjukan, lagu-lagunya memang menyasar kaum akar rumput. Ini bahasa sehari hari mereka, walau untuk lidah orang Tegal seperti saya, sering kelipet-lipet kalau menyanyikannya. Tapi, sekali lagi, Didi mengajarkan moral berharga. Ketekunan pada satu bidang, jika dilakukan secara terus menerus, satu saat akan membuahkan rasa manis juga. Dan Didi, di dua tahun terakhir,memang sedang menikmati ‘panen raya’.
Cerita teman saya, yang wawancara almarhum Mamiek Prakoso, kakak Didi, bisa menjelaskan ketegaran untuk meraih mimpi itu. Bagaimana Didi diam mematung disamping Mamiek sepanjang wawancara berlangsung. Bahkan ia diminta tolong teman yang mau foto bareng dengan Mamiek, untuk jeprat jepret. Kemudian diakhir wawancara, Didi mencoba mempromosikan kasetnya dengan ungkapan lugu.
“Mas,ini saya punya album. Kemarin baru pentas di Suriname,”katanya.
Teman saya cuma senyum menerima kaset itu, tanpa banyak tanya. Mungkin bagi mereka yang cepat patah arang akan berhenti bermusik. Tapi tidak bagi Didi. Ia terus bekerja, berkarya dalam senyap –dalam batas-batas tertentu mungkin bisa difahami, atau secara kasar bisa kita bilang, ya memang bisanya cuma itu. Mau apalagi. Tapi tetap, butuh mental tahan banting untuk terus mencoba menarik perhatian para pelaku industri hiburan, yang kejam jika soal fulus.
Teman yang lain bertutur,bagaimana 3 tahun lalu nama Didi Kempot tidak menarik untuk dipanggungkan. Ya, industri hiburan memang begitu. Kalau tidak menghasilkan duit, buat apa keluar duit untuk jadi sponsor. Tapi siapa menduga, tahun-tahun terakhir jelang kematiannya, para kapitalis itu beramai-ramai ‘ngemis’, agar bisa membuatkan konser untuk Didi. Bayangkan. Mana ada penyanyi berbahasa Jawa konser khusus, dan dihadiri ribuan kaum milenial, yang bergoyang seru melupakan perlakukan para mantan pacar?
Alhasil, meski I Hate You, tapi saya belajar banyak dari perjalanan hidup Didi Kempot. Ada spirit yang terus menyala. Bahwa kesusahan hidup model apapun, sejatinya hanyalah langgam lain dari napas panjang yang akan mengisi kekayaan batin kita. Inilah yang membuat Didi tetap rendah hati. Andap asor. Sopan terhadap siapapun, karena ia pernah merasakan perihnya jadi pengamen jalanan. Didi mengerti benar, wolak walike urip, hanya soal peran. Dan ia sudah memerankan dengan baik saat sudah jadi super star, meski sayang, Allah lebih menyukai mengambilnya lebih dini, saat kita masih ingin terus berguru. I Hate you Mas Didi. Surga balasanmu…
*Penulis adalah jurnalis Ceknricek.com penggemar lagu-lagu Didi Kempot