Gerindra Pe De, PDI-P Gamang

Rahayu Djoyohadikusumo

Oleh Adib Miftahul

Munculnya rekomendasi Rahayu Saraswati, sebagai bacalon Gerindra yang diusung untuk Pilkada Tangsel Desember 2020, mendatang menurut pandangan saya setidaknya dengan perolehan 8 kursi pada Pileg 2019 lalu, memberikan gambaran bahwa Gerindra selalu percaya diri pada perhelatan Pilkada di Tangsel.

Parameternya adalah kalau kita lihat pada Pilkada Pilkada sebelumnya di Tangsel, Gerindra selalu menghadirkan tokoh atau kadernya sendiri. Kalau Pilkada yang lalu mereka menghadirkan kadernya Li Claudia Chandra sebagai Penantang Airin. Sekarang juga keadaan, posisinya sama dan hanya castingnya yang berbeda. Sebab, pasangan Benyamin Davnie dan Pilar Saga adalah refleksi dari kekuatan politik Airin Rachmi Diany juga, yang masih menahkodai Golkar Tangsel sekaligus pemegang kekuasaan Tangsel saat ini.

Diusungnya Rahayu Saraswati, walau ukuran elektabilitasnya belum jelas bagi publik Tangsel, setidaknya Gerindra mengajak rematch atau tarung ulang kepada calon yang diusung oleh golongan petahana. Munculnya keponakan Prabowo dilihat dari sisi komunikasi politik menunjukkan bahwa Gerindra selalu Istiqomah atau sustainable sebagai partai yang percaya diri untuk selalu mengusung calonnya sendiri di Tangsel.

Dengan meraih suara yang lumayan hingga 8 kursi, Gerindra memang harus mempunyai keberanian berlaga dengan kader sendiri demi menjaga soliditas partai, terutama bagaimana menjaga marwah partai besar. Apalagi kalau melihat peluang pada pemilu 2024, Tangsel juga menjadi lahan potensial untuk digarap demi menjaga kemenangan Gerindra alias sapu bersih di Banten.

Sementara, kalau dibilang mengejutkan dan cenderung terlalu percaya diri malah bisa disematkan kepada pendatang baru, yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI).  Sebagai partai baru yang bermodalkan 4 anggota dewan alias satu fraksi malah sudah lebih dulu berani unjuk gigi dengan memberi rekomendasi calonnya yaitu Sekda Muhammad. Ini sangat menarik.

Langkah yang diambil PSI ini jelas sudah dipersiapkan matang. Terlihat, sampai hari ini, "Pengawalan" dan kode keras sudah ditunjukkan PSI, demi menjaga dan menaikkan pamor politik PSI sebagai kuda hitam di pilkada. Contoh itu bisa dilihat dalam sepak terjang PSI di DPRD Tangsel. Banyak pandangan berbasis 'mbalelo', tidak sejalan dengan para seniornya (partai lain) di parlemen Tangsel. Contoh terakhir adalah soal kasus TPA Cipeucang, yang dikapitalisasi menjadi langkah politik untuk mendapatkan simpati publik, disaat partai lain nyaris tak terdengar suaranya.

Maka itu secara komunikasi politik, ibarat David dan Goliath dalam sebuah film,  jelas walau suara kecil, tak ada sedikit pun minder memberikan tantangan kepada hegemoni politik yang jauh lebih besar. PSI mengungkapkan pesan jelas bahwa mereka siap memberikan kejutan walaupun sampai saat ini juga masih harus menemukan formula dan ritme tentang pasangan yang bakal diusung.

Justru berbeda dengan dua partai yang saya sebut diatas. Saya menilai bahwa PDIP Tangsel yang sampai saat ini belum ada calonnya, sekali lagi menunjukkan sebuah kegamangan dan cenderung tak percaya diri.  Memang politik itu dinamis, tapi sikap PDIP dengan seolah mengulur waktu soal rekomendasi calon adalah sikap mendegradasi semangat politik bagi kadernya. Campur tangan DPP menurut saya sangat kental sekali soal rekomendasi ini. Indikasi atau kode keras itu bisa dilihat pula ketika misalnya Ketua Fraksi di DPRD Tangsel yang dijabat oleh 'pendatang baru' yaitu Putri Ayu, yang menurut informasi dari berbagai sumber merupakan titipan dari pengurus DPP PDIP. Padahal, jabatan ketua fraksi harusnya lebih maksimal diemban oleh politisi senior di Tangsel, dengan alasan lebih memahami persoalan kebijakan arah partai yang berasal dari aspirasi kader dibawah, dengan begitu soliditas tetap terjaga.

Dengan kenyataan sampai saat ini belum ada rekom, kader akar rumput seolah tidak diberikan guiden atau tongkat rute yang jelas. Bagaimana misalnya mereka harus menjaga soliditas yang butuh waktu. Padahal pertarungan membutuhkan skema strategi dan taktik. Makanya penting segera men-declaire tokoh yang bakal diusung, tak lebih untuk membuat ramuan yang pas yang segera bisa ditawarkan kepada publik. Kalau yang diusung belum jelas, seperti bersiap berenang ke lautan tetapi tidak tahu seberapa dalamnya lautan tersebut. Padahal lagi, mengukur dalamnya lautan butuh waktu yang tak sekejap.

Tetapi kembali lagi, kegamangan itu wajar ketika melihat track record PDIP pada peta 2 kali pertarungan pilkada di Tangsel lalu, yang tak mengusung kader partainya sendiri. Menurut catatan saya, diusungnya Arsid pada pilkada lalu misalnya, tak lebih hanya kader baru yang memang sudah biasa karena mendapatkan rekomendasi partai. Makanya, dengan kader dadakan begitu istilahnya, tidak mencerminkan kader militan yang mengakar dan tidak maksimal menguasai aspirasi wong cilik atau akar rumput. Sehingga perolehan suara tak maksimal.

Maka, PDI Perjuangan sebagai partai yang mempunyai kursi 8 harusnya jelas punya bargaining position jelas, harus tanpa tawaran. Marwah partai dipertaruhkan. Kader  sendiri dengan didukung militansi akar rumput yang potensial banyak. Ini harus jadi pilihan. Apalagi PDIP adalah partai penguasa. Disisi lain, PDIP juga mempunyai tanggung jawab moral menjawab dengan kemenangan dalam perhelatan pilkada yang akan datang. Istilahnya, Tangsel bakal bisa dijadikan ajang prototipe agar Banten bisa direbut pada 2024 nanti. Kerena Banten bagi PDIP adalah salah satu daerah yang susah ditaklukkan.

Maka, apakah propaganda bunga mawar bakal bisa membuat jatuh cinta dengan bau yang dibawa? Atau, kepakan Burung Garuda bisa terbang ke angkasa? Atau, Banteng meraung dengan sisi gahar berwibawa?

Mari kita tunggu sambil ngopi

*penilis Analis Politik Universitas UNIS

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel