Ekosistem Kesenian Yang Mana?


              Sebuah pentas seni di Banten

Oleh: Hilmi Fabeta

Saya terlibat perbincangan daring dengan topik populer yang serius, “Daya Tahan Ekosistem Kesenian di Banten Pasca Pandemi”. Digagas oleh JASEBA (Jaringan Seniman Banten) yang merupakan irisan dari Dewan Kesenian Banten dibawah periode kepemimpinan Sdr. Chavchay Syaifullah, Sabtu, 10/10/2020. 

Perbincangan daring tersebut mengundang, Sdr. Rohendi dari Dinas Pariwisata Banten, Sdr. Madin Tyasawan yang dikenal sebagai Dewan Kesenian Kota Tangerang, Sdri. Mizz Faradiba dari Kadin Paradigma Baru Kota Tangsel, saya sendiri serta Sdr. Arie Siswandi dari JASEBA selaku moderator.

Pada kesempatan saya berbicara, saya sampaikan pernyataan sekaligus pertanyaan, apakah di tanah ini di Banten ada ekosistem kesenian? Hal itu perlu saya sampaikan, karena semenjak saya dihubungi Sdr. Arie, pertanyaan tentang makna ekosistem kesenian itu terus berputar-putar di kepala.

 Ekosistem kesenian adalah rantai komponen yang saling berkait yang tentunya menopang jalannya dunia seni (art world). Komponen itu adalah seniman, kurator, ruang, penulis/kritikus, media. Sekarang mari kita periksa satu per satu secara cepat. Seniman, sesungguhnya bukan karena profesi. Dalam tulisannya Jakob Sumardjo dan Sanento Yuliman menyebutkan seniman adalah semacam gelar, dia bahkan setara dengan guru besar atas pencapaian estetika dan perjalanan berkeseniannya yang melahirkan tawaran wacana, pemikiran baru, atau retrospektif dan memiliki dampak. Hal ini kiranya perlu dipahami untuk membedakan dengan perupa, penari, pelukis, penyanyi, dan seterusnya. Para pekerja seni itu tumbuh dari lingkup akademik dan non-akademik, faktor penentunya adalah: adanya institusi seni. Di Banten belum ada institusi seni formal, sehingga wajar “pabrik” untuk mencetak seniman tidak dinamis.

Kemudian, kurator. Profesi ini konon, setelah pameran Live in Your Head: When Attitude Become Form: Works – Process – Concept – Situation – Information yang dikuratori oleh Harald Szeemann di Kunsthalle Bern di Swiss (1969) melejetkan peran kurator sebagai creator. Szeemann secara radikal telah mengubah kecenderungan praktik statis suatu pameran dalam museum, ia meninggalkan kariernya di teater untuk menjadi direktur sekaligus kurator di Kunsthalle dengan premis untuk menjadi “pencita pameran sebagai suatu proses yang terus berjalan”. Ia memperlakukan  ruang museum yang dulunya dianggap sebagai kuil keramat, menjadi serupa studio seniman yang penuh kejutan, bahkan memanfaatkan ruang terbuka yang ada di luar galeri. Dikemudian hari kurator pun memiliki entitas, dengan pemahaman mengenai ruang, akustik, manajemen pameran, dan rangkaian ilmu yang menopang profesi ini.

 Ruang. Kita bisa baca sebagai galeri, panggung, ruang display. Setiap pekerja seni membutuhkan ruang untuk menampilkan karya dan gagasannya. Ruang seni seyogyanya diperlakukan untuk mengapresiasi seni, bagaimana tembok-tembok ada, jika untuk ruang pamer lukisan minimalisir elemen kaca, ketinggian langit-langit, lantai dengan nuansa corak yang tidak berwarna-warni, atau ruang publik yang terbuka untuk publik. Ruang apresiasi seni secara formal harus diakui tidak ada di wilayah Banten, tidak sebanding dengan ruang alternative yang tumbuh yang diinisiasi oleh Komunitas atau Kolektif atau ruang pribadi yang dialihfungsikan menjadi galeri.

Penulis/Kritikus dan Media

Semenjak terakhir Majalah Visual Arts dan Arti tamat, kita kekurangan barometer dalam menyimak ulasan peristiwa seni atau membaca kritik seni yang baik. Harapan utama kemudian bergantung pada Harian Kompas edisi Minggu dan dua-empat lembar pada Majalah Tempo. Banyak yang berusaha menggantikan peran tersebut melalui beragam media berbasis sosmed, namun rasanya tidak sebernas Kompas dan Tempo dalam skala nasional. Bagaimana dengan skala lokal di wilayah ini? Tidak benar-benar ada.

Mari kita membaca ini semua sebagai sebuah refleksi, bahwa tawaran wacana “Daya Tahan Ekosistem Seni di Banten Pascapandemi” sesungguhnya adalah daya tahan atas masing-masing perut pekerja seni. Bukan atas nama Ekosistem Kesenian. Karena mari sama-sama kita akui ekosistem kesenian di wilayah Banten tidak tumbuh.

Lantas bagaimana mengujinya? Tentu kita bisa baca data yang ada. Seniman memang mungkin tumbuh, umumnya melalui komunitas. Tapi komponen yang lain belum. Kita juga bisa menguji melalu pendekatan penthahelix, ABCGM. Akademisi – Bisnis – Community – Government – Media. Apakah tiap komponen kesenian tersebut bersinggungan dengan hal tersebut, jika tidak dan atau jika tidak ada, maka benar ekosistem kesenian kita tidak ada. Maka, mari kita akui dan terima nasib kita bahwa Kesenian dan Kebudayaan di wilayah Banten belum menjadi platform utama dalam membangun wilayah.

*Penulis Presiden Tangsel Creative, Pekerja Budaya

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel