Omnibus Law: Legacy yang Membawa Petaka?


Oleh: TM. Luthfi Yazid*

Sepertinya aksi mahasiswa, buruh, dan massa yang menolak disahkannya Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU OL CK) akan terus bergulir. Tidak menutup kemungkinan korban masih akan berjatuhan dalam demo-demo yang masih akan terjadi.  

DPR RI mengesahkan Undang-undang tersebut secara diam-diam di waktu malam, di saat pandemi Covid19 yang mencekam, di kala masyarakat didera kesusahan menghadapi kesulitan ekonomi yang  berkelanjutan.

Reaksi pro maupun kontra bermunculan di berbagai media massa, media sosial, di masyarakat, maupun di kalangan praktisi dan akademisi. Seperti tidak perlu aba-aba, demonstrasi digelar di berbagai daerah oleh mahasiswa, buruh, dan rakyat. Bakar-bakaran pun tak terhindarkan. 

Para mahasiswa, pekerja, dan buruh turun ke jalan. Sebagaimana tercatat dalam lintasan sejarah, para mahasiswa sering menjadi motor pergerakan dan perubahan. Akankah peristiwa sejarah reformasi terulang?

Kita dapat memperdebatkan isi dari UU OL CK dengan membandingkan undang-undang yang lama dengan ketentuan yang baru terkait hak pesangon, pemutusan hubungan kerja (PHK), hak cuti, aspek lingkungan hidup, perpajakan, dan sebagainya. 

Tapi bukankah ada hal-hal yang jauh lebih penting lagi seperti transparansi dalam pembuatan sebuah undang-undang, tidak perlunya ketergesa-gesaan dalam pengesahan undang-undang, aspek prosedural yang tak dihiraukan, atau terkait unsur-unsur formil dan materiil sebuah undang-undang. Ada juga yang berpendapat Omnibus Law cacat hukum karena ekonomi negara diserahkan kepada sistem liberal kapitalistik. 

Dalam pidato pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk periode kedua tanggal 20 Oktober 2019, untuk pertama kalinya Presiden Jokowi secara khusus menyebut Omnibus Law.       

Kemudian, Jokowi dalam salah satu pidatonya antara lain menyampaikan harapannya kepada DPR RI agar Omnibus Law diselesaikan dalam 100 hari dan Jokowi akan angkat dua jempol untuk DPR jika dapat selesai dalam 100 hari. Sepertinya Jokowi ingin membuat sebuah legacy, sebuah warisan, dengan Omnibus Law ini. 

 Sebenarnya Omnibus Law ada positifnya sebagai sebuah upaya untuk menyempurnakan, merevisi atau menegasi peraturan-peraturan yang ada dan saling bertentangan (existing regulations). Upaya ini sebenarnya untuk membantu dan menyederhanakan peraturan perundangan yang complicated dan tumpang-tindih. 

Ada sekitar 73 Undang-undang dan 1.203 pasal yang “diremajakan” atau “disunat” dalam Omnibus Law.  Dan ini sebuah fakta bahwa banyak peraturan perundangan ataupun pasal dalam undang-undang yang tidak koheren, tidak konsisten, dan saling bertentangan. Hal ini disebabkan oleh banyak hal. 

Misalnya karena adanya kepentingan yang berbeda-beda terhadap lahirnya sebuah undang-undang atau pasal-pasal. Boleh jadi karena kelemahan dari segi legal drafting. Atau juga adanya arogansi para inisiator pembuat undang-undang yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok maupun bisnisnya, dan lain sebagainya. 

Materi maupun persoalan-persoalan itu dapat kita perdebatkan, baik dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, maupun pengundangan serta sosialisasinya kepada masyarakat. 

Bagaimana sebuah undang-undang dilahirkan berdasarkan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu UU No. 12 Tahun 2011 juncto UU No 15 Tahun 2019 yang merupakan pelaksanaan dari mandat Konstitusi Pasal 22A UUD 1945 yang menyatakan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.

Akan tetapi hal itu mestinya diperdebatkan, disosialisasikan, dan ditanggapi oleh publik sebelum undang-undang itu disahkan dengan memberikan waktu yang memadai. Pada titik inilah faktor transparansi dan partisipasi menjadi penting. 

Bahwa dalam praktek pembuatan Omnibus Law di negara lain kadang mengalami lack of transparency dan lack of participation seharusnya sudah diantisipasi oleh pemerintah maupun parlemen kita sedari awal. 

Bagaimana praktek pembentukan Omnibus Law di US, Canada, Irlandia, atau New Zealand (sebagai contoh) harus dikaji kekuatan dan kelemahannya secara detil.  Semestinya pembentukan sebuah undang-undang yang terkait dengan hajat hidup orang banyak haruslah aspiratif dan partisipatif. 

Apakah cukup persoalan semacam ini hanya diserahkan kepada anggota Satgas Omnibus Law atau Task Force yang jumlahnya 127 anggota serta dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 378 Tahun 2019 yang diketuai oleh Ketua Umum Kadin? Memangnya Kadin itu lembaga apa?

Mengapa untuk urusan yang sangat penting hanya diatur (legal seat-nya) dengan sebuah keputusan menteri dan bentuknya hanya Satgas? Apakah sebuah satgas memliki executorial power? Bukankah 127 anggota kapasitasnya lebih sebagai individu, pengusaha, peneliti (seperti Umar Juoro) dan wartawan (seperti Wahyu Muryadi atau Suryo Pratomo)?  

Tapi lebih dari itu semua, saat ini di masyarakat ada semacam social distrust kepada parlemen maupun pemerintah. Dan apabila distrust society dibiarkan, maka ini akan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup bernegara dan berbangsa (sustainability). 

Pengalaman ambruknya  berbagai negara di belahan dunia lain karena tidak menerapkan Rule of Law secara genuine hendaknya menjadi pelajaran berharga.  Lebih tragis lagi saat ini kita bukan hanya mengalami scarcity of natural resources (kelangkaan sumberdaya alam), namun juga mengalami semacam scarcity of leadership, deficit kepemimpinan, kelangkaan kepemimpinan dan teladan. 

Anggota DPR saling berkelit, begitu juga pemerintah. Benny K Harman dari Komisi III DPR RI dalam wawancara dengan Inews TV mengatakan “pembahasan RUU ini hanya tinggal ketok saja, tidak ada diskusinya. Kepentingan pebisnis saja yang diutamakan. Kepentingan petani, buruh, nelayan, dan pekerja sama sekali tidak diperhatikan. 

Dekriminalisasi terhadap para perambah hutan ada dalam Omnibus Law dan hak-hak pekerja kurang diperhatikan”. Anggota parlemen dari Partai Gerinda Fadli Zon dalam unggahan youtube mengatakan, “Saya minta maaf tak bisa cegah Omnibus Law”. Bagaimana suara pemerintah? 

Bahkan terhadap demonstrasi yang ada, Menteri Erlangga Hartanto mengatakan bahwa ia tahu sponsor dibalik demonstrasi. Jika dia tahu mestinya ia sebut siapa sponsornya! Jika pemerintah dan DPR RI saling lempar tangan, lempar tanggungjawab, lalu kemana rakyat harus mengadu? 

Kemana mereka harus mendapatkan penjelasan dan menyandarkan nasibnya? Sudah saatnya konsep negara hukum yang menjadi mandat Konstitusi (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) ditata-ulang. Mandat konstitusional haruslah menjadi pedoman utama dalam menjalankan roda kehidupan negeri ini. dan itu butuh perjuangan dan ketulusan.

* TM. Luthfi Yazid alumnus School of Law University of Warwick, Inggris.Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel