Aku, Rendra dan Jidat Penyair Salon

Rendra

Oleh Teguh Wijaya 

Suatu hari di sebuah kantor di kawasan Kuningan, Jakarta, saya hendak mewancarai Setyawan Jody untuk sebuah tulisan. Lupa tahun berapa tapi sekira tahun 90-an. 

Jody selain dikenal sebagai pemusik, ia juga seorang maecenas, yakni orang yang  suka mensposori pertunjukan kesenian agar tetap
eksis.  Tak heran  bila ia berkarib dengan Iwan Fals dan si Burung Merak, Rendra. Nama terakhir tersebut adalah penyair, yang dikenal dengan puisi -puisi kritik sosial.

Karena Jody, yang empunya kantor lagi menerima tamu di ruangannya,  saya duduk menunggu giliran diterima di ruang tamu. Dan di situ sudah ada WS Rendra dan seorang laki - laki yang tak kukenal. Kalau tak salah ingat, ada juga sohib wartawan  Akhlis Suryapati. Tapi, Akhlis yg kini jadi sutradara film itu, duduk di dalam dan kadang mondar -mandir. Dia  melambaikan tangan kepadaku menyapa dari dalam.

Tak mau membuang kesempatan, begitu duduk  langsung menyapa mas Willy (Rendra) dan bertanya tentang satu bait puisinya di Sajak Sebatang Lisong. 

Sajak ini dikenal sebagai sajak pamflet oleh publik karena berisi kritik pedas pada rezim yang berkuasa. Tak cuma itu. Sajak ini juga mengkritik sikap para penyair yang berpuisi untuk keindahan, lupa pada realitas lingkungannya. Seperti tercermin pada bait ke 8, yang hendak saya konfirmasi kepadanya.

Bait itu  sudah lama saya  "curigai", penyair salon itu ada sosok nyatanya. Dan dia masih hidup. Saya yakin, saat mas Willy menulis ungkapannya yang sarkas: jidat penyair salon, dia membayangkan sosok penyair itu dalam imajinya. Mungkin temannya, mungkin pula lawannya sehingga 
ungkapan  sarkas  juga kritiknya kepada  sikap penyair salon, sangat lugas dan bertenaga. Berikut penggalan bait sajaknya : 

Aku bertanya
Tetapi pertanyaanku 
membentur Jidat penyair – penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidakadilan terjadi disampingnya. Dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan
termangu – mangu di kaki dewi kesenian.

Tafsir lain, yang dimaksud para penyair salon adalah para penyair yang menulis puisi liris  berideologi "seni untuk seni".  Suatu "maszab" seni yang mengaggungkan  estetika  ketimbang pencapaian dan peran sosial lain. Dengan kata lain, seni untuk seni memiliki misi keindahan semata. Boleh jadi mirip, puisi - puisi GM (Goenawan Mohamad) periode 60-an. 

Ideologi puisi semacam itu, tentu sangat bertentangan dengan ideologi sosial yg dianut oleh almarhum Rendra, meskipun  pada awal kepenyairanya sajak- sajak Balada Orang - Orang Tercinta dan Sajak - sajak Sepatu Tua, bisa dikatakan masuk dalam genre  seni untuk seni.

Kembali ke pertanyaan soal ungkapan "jidat penyair salon", tampak  mas Willy  rada kaget saat saya tanyakan itu. Maka segera saya terlibat diskusi hangat dengannya di ruang tamu.  Penyair penerima penghargaan Akademi Jakarta itu menyatakan, kepenyairan yang pencapaiannya hanya keindahan semata, dia akan sia - sia. Sebab keindahan yang digambar akan kalah dgn keindahan sesungguhnya. Penyair itu saksi kehidupan. Termasuk saksi ketidakadilan dan sengkarut zaman. Dia mesti bersaksi, tidak sekadar hadir pada situasi yang ada.

"Ya tapi siapa, para penyair salon yang Anda maksud?" tanya saya nyolot. 

Mas Willy cuma terkekeh. Dia menyalakan rokok.

Terlihat Setyawan Jody keluar mengantar tamunya seorang ekonom UI. Lantas berbalik menghampiri dan mengajak Mas Willy masuk ke dalam kantornya.

Saat bangun dari duduknya, Mas Willy  membisikan sesuatu ketelingaku. Saya agak kaget. Buru- buru beliau menempelkan telunjuk ke bibirnya : sssstttttt... 

Jadi siapakah penyair yg dimaksud sebagai penyair salon itu? Tentu saja off the record. Sebab si Burung Merak telah memberi amanah demikian. 

Pamulang,20/10/18

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel