Menengok "Keanehan" Pemilihan Pimpinan DPRD Tangsel.
Rabu, 09 Oktober 2019
Edit
Empat pimpinan DPRD Tangsel terpilih (Foto: TW) |
Oleh Teguh Wijaya
Boleh jadi kata yang tepat adalah "tidak konsisten" atau standar ganda untuk menggambarkan kebijakan pemerintah, sehingga tiga partai politik dalam menentukan pimpinan DPRD Kota Tangsel 2019 tidak paralel dengan semangat "suara terbanyak", beberapa waktu lalu. Apa pasal?
Dalam menentukan pimpinan DPRD, yakni Ketua dan Wakil Ketua diberlakukan siapa yang unggul dalam perolehan kursi di pileg 2019, maka jabatan Ketua akan didapat. Demikian pula untuk tiga Wakil Ketua, partai yang memperoleh kursi terbesar kedua, ketiga dan keempat yang berhak duduk sebagai wakil ketua.
Ketentuan tersebut mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memiliki turunanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018, pada pasal 164 ayat 3.
Maka dengan aturan itu, di DPRD Tangsel, Golkar berhak atas kursi Ketua DPRD karena memperoleh 10 kursi. Dan dipilihlah Abdul Rosyid sebagai Ketua DPRD. Kemudian sebagai Wakil Ketua PDI -P Iwan Rahayu (8), Li Claudia Chandra dari Partai Gerindra (8) dan Mustopa dari PKS (8 kursi).
Dengan demikian, untuk "sessi" ini semangat sistem perolehan suara terbanyak dilakukan dalam penentuan jabatan pimpinan dewan di DPRD Tangsel.
Tapi tunggu dulu. Untuk anggota dewan yang dipilih untuk mengisi jabatan tersebut, tampaknya UU Pemda itu tidak mengatur untuk suara terbanyak. Alhasil ketiga partai, yakni Golkar, Gerindra dan PKS memilih secara subyektif, dengan aturan internal partai masing - masing. Maka tiga anggota dewan yang terpilih bukan pemilik suara terbanyak saat kontestasi pileg. Hanya Iwan Rahayu dari PDI P, yang terpilih dengan suara terbanyak di partainya.
Seperti kita ketahui, Abdul Rosyid dipilih menjadi ketua. Padahal berdasarkan SK Penetapan Calon Terpilih No 55/HK 031- Kpt -/367/KPU - Kot/VIII/2019, Abdul Rosyid di Dapil 3 mendapat 7673 suara. Perolehan suara itu kalah jauh dibanding dengan perolehan yang didapat rekan separtainya dari Dapil 2, M.Ramlie : 8742.
Ramlie, mantan Ketua DPRD Tangsel periode sebelumnya pun tersingkir meski unggul suara. Dia hanya diberi jabatan Ketua Fraksi Golkar. Satu jabatan lebih rendah bila dibanding Ketua DPRD.
Hal sama terjadi pula di Partai Gerindra dan PKS. Partai besutan Prabowo Subianto ini memilih Li Claudia Chandra sebagai Wakil Ketua DPRD Tangsel. Padahal perolehan suaranya hanya 2803 suara, kalah jauh dibanding perolehan suara rekan satu partainya, Zulfa S Setiawati dari Dapil 3 yang memperoleh suara 5638. Tak "seberuntung" Ramli, Zulfa hanya diberi jabatan Ketua Komisi.
Pun, yang terjadi dengan Mustopa yang dipilih partai menjadi Wakil Ketua DPR dari PKS. Dewan dari Dapil 5 ini peroleh 3337 suara, kalah dengan rekan satu partainya yang lain, Ali Rachmat dari Dapil 2: 5638 suara.
Mengapa subyektivitas partai diterima dengan damai di tengah ekspektasi akuntabilitas suara terbanyak?
Abdul Rosyid, Ketua DPRD terpilih saat diminta komentar hanya berkata pendek, "Ach...itu sudah lama. Untuk siapa yang jadi ketua, yang menentukan partai, pusat," kata Abdul Rosyid seraya masuk lift.
Jawaban senada juga diberikan Claudia Chandra kepada cipasera.com. "Yang nentukan pimpinan pusat, bukan pengurus DPD," ujar Claudia sambil bergegas naik mobil.
Memang, secara Undang- Undang tak ada pasal yang mengikat, mereka yang memperoleh suara terbanyak dalam pileg mesti duduk sebagai pimpinan DPRD dan Wakil Ketua.
Tapi, meski demikian, selayaknya partai politik mengabaikan "kekosongan pasal" dan mengedepankan etik sportivitas, suara terbanyak sebagai yang terpilih.
Di era milenial, dimana semangat "suara terbanyak" sudah menjadi tatanan baru publik, seyogiyanya partai politik berjalan pararel dengan semangat baru tersebut. Meninggalkan jauh - jauh subyektivitas agar publik tak menduga, adanya like and dislike. Dan Pemerintah sudah saatnya menjaga marwah "suara terbanyak" dengan menerbitkan regulasi yang tegas, hak anggota dewan peraih suara terbanyak untuk duduk sebagai pimpinan dewan.
*Penulis Pemred cipasera.com