Butet Melakukan Anarkis Bahasa

        Acep Iwan Saidi


Oleh Dr. Acep Iwan Saidi, S.S., M.Hum

Licentia poetica memberi keleluasaan kepada penyair untuk mengeksplorasi bahasa. Tapi, seleluasa-leluasanya, ia tetap berada pada batas poetica.  Poetica itu sendiri bukan melulu soal bentuk, melainkan substansi. Puisi bukan hanya perkara kata ditata, melainkan juga makna dikelola.

Apa yang dibacakan Butet tempo hari di Gelora Bung Karno di hadapan ribuan massa PDI-P sebenarnya bukanlah puisi, melainkan hanya rangkaian kata sarkas yg disusun dalam rima sajak sehingga ia bernada. Dengan itu, Butet pun berdeklamasi.

Rima Butet tidak bisa disebut puisi sebab ia “melampaui batas” licentia poetica sebagaimana diuraikan di atas. Rima Butet memaksa bahasa untuk mengeksploitasi persepsi dan menggiring publik masuk ke ruang gelap prasangka.

Butet tidak menyebut nama. Tapi justeru dengan itu prasangka buruk dibangun. Bagaimanapun, teks tidak pernah bisa dilepaskan dari konteks. Justeru di dalam konteks makna terbentuk. 

Sangat disayangkan Butet melakukan hal tersebut–sementara ia sendiri tidak dikenal sebagai seorang penyair. Alih-alih mencipta puisi, dengan rima itu, Butet justeru telah merusaknya. Butet melakukan semacam tindakan anarkis terhadap bahasa. Ditepuki berpuluh ribu massa, anarki terhadap bahasa dapat berubah menjadi anarki demokrasi. 

Di situ, puisi yang sejatinya dibayangkan bisa membersihkan politik yang kotor dus meluruskan yang bengkok sebagaimana diteriakkan Kennedy, justeru dengan rimanya Butet telah membetot puisi untuk kian mengotori dan membengkokkan politik.

Hiks, jadi teringat selarik sajak Hans Enzesberger, “jangan tulis puisi, anakku, bacalah jadwal-jadwal keberangkatan!”. Entah jadwal apa yg dibaca Butet, entah kemana ia akan berangkat.*

Dr Acep Iwan Saidi SS.Mhum adalah dosen ITB

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel