Maskot Pilkada Tangsel, Tak Punya Magnetude dan Menafikan Perempuan

        Bandingkan Si Juki dan Sipangsi (bawah)

Oleh Teguh Wijaya

Peluncuran jingle dan maskot Pilkada  Tangsel Si  Juki oleh KPU Tangerang Selatan (Tangsel) beberapa hari lalu di Ocean Park, BSD tergolong wah. Dua panggung didirikan berhadapan. Satu untuk duduk para pejabat dan satunya  untuk pertunjukan sekira 15 meter lebarnya. Sound systemnya menggelegar saat pejabat pidato dan sejumlah pemusik ska beraksi.

Gebyar seremonial itu oleh  Pengamat Publik Tamil Selvan disebut menghabiskan dana ratusan juta. Biaya besar itu sangat disayangkan dan dinilai KPU hamburkan- hamburkan  dana hibah.  Sementara efektivitas maskot mempengaruhi  pemilih untuk nyoblos belum teruji.

Seperti diketahui, Pemkot Tangerang Selatan memang memberikan hibah Rp 47, 2 M untuk Pilkada 2024 kepada KPU.

Ketua KPU Tangsel M Taufik kepada media mengatakan, jinggle dan maskot Pilkada Tangsel 2024 itu diluncurkan untuk meningkatkan partisipasi publik terhadap Pilkada Tangsel. Taufik berharap partisipasi pemilih bisa meningkat mencapai 70%. 

Ungkapan Taufik ini menimbul pertanyaan, mampukah maskot pilkada Si Juki ini mendongkrak  partisipasi pemilih hingga  70%, mengingat maskot hasil seleksi  oleh Dik Doank, Agam Pamungkas dan seorang akademisi ini banyak kekuranganya?

Terus terang, saya pesimis. Pesimis sebab bila ditinjau dari sisi visual,  sosok kartun Si Juki banyak kekurangannya dan tak punya magnetude kuat, yakni sebagai  media warga Tangsel mengindentifikasikan diri lewat sosok Si Juki.

Si Juki tak menggambarkan sebagai sosok  yang  merepresentasikan masyarakat Tangsel, sekaligus  menjadi  personifikasi para pemilih Tangsel. 

Sosok maskot Si Juki secara karikatural digambarkan pria mengenakan celana pangsi, baju koko dan berkopiah. Sekilas mirip penampilan sosok atau karakter pria dewasa suku  Betawi. 

Gambaran karakter tersebut jelas bertolak belakang dengan gambaran   karakter pemilih Pilkada Tangsel, yang notabene adalah warga Tangsel. 

Masyarakat Tangsel merupakan masyarakat prural yang terdiri dari banyak suku atau multi ras. Ada   suku Jawa, Sunda, Padang , Batak, Betawi dan lain lain. Dari sisi populasi, warga terbanyak di Tangsel adalah suku Jawa kemudian diikuti suku Sunda, Padang, Betawi dan seterusnya. 

Dengan gambaran tersebut, Maskot pilkada Si Juki  sosoknya hanya merepresentasikan  satu karakter suku saja. Dan lebih parah, secara gender, maskot Si Juki tak mewakili pemilih perempuan. Sosok Si Juki digambarkan sebagai sosok laki-laki. Padahal pemilih perempuan jumlahnya 520.482 orang. Jumlah tersebut mengalah pemilih pria yang jumlahnya 501.755 orang. Jadi total pemilih  perempuan - pria 1.022.237 orang. Anehnya, mengapa pencipta maskot tak berfikir untuk membuat maskot dengan sosok laki - laki dan perempuan, agar mewakili dua unsur jenis kelamin.

Kurang kreatif?

Dari sisi tak kreatif, agaknya tidak bisa ditampik. Maskot selain hanya menampilkan satu karakter, Si Juki mirip sekali karakternya dengan maskot pilkada KPU Tangsel 2020 lalu, yakni Si Pangsi. Dari sisi karakter, bentuk dan gaya karikaturalnya  mirip. Kesannya Si Juki modifikasi dari Si Pangsi.  

Yang lebih memprihatinkan, nama Si Juki sama dengan tokoh kartun Si Juki yang jenaka yang tayang di youtube. Dalam dunia seni, apakah itu seni kartun, lukis atau yang lain, kreativitas punya nilai "moral" tinggi. Menyerupai atau mirip dengan karya yang sudah ada sangat dihindari, pamali.

*Penulis Wartawan Senior



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel