Group Sukatani Anti Kemapanan, Relasi Budaya Banyumasan
Oleh Teguh Wijaya
Tsunami budaya itu bernama lagu Bayar...Bayar...Bayar. Sebuah lagu bersyair kritik sosial yang tajam berenergi. Lagu itu datang dari group musik new wave - punk Sukatani yang memporakporandakan ruang narasi yang dikuasai oleh berita media arus utama : Politik, KPK tetapkan tersangka, dan drama retret yang tak jelas isinya.
Lagu Bayar ...Bayar...Bayar. juga memporakan puisi2 hasil lamunan penyair yang ramai di FB. Pendek kata, Bayar ...Bayar...Bayar...seperti menjungkirkan kejumudan, budaya yang stuck, yang ditimang timang kaum penjaga kemapanan.
Tiba- tiba Bayar...Bayar ...Bayar berkumandang, di semua medsos dan trending siang malam meski lagu tersebut sudah di take down oleh pemiliknya, lantaran ada campur tangan pihak keamanan.
Yang luar biasa, tsunami itu muncul bukan dari kaum urban yang butuh katarsis di tengah kejumudan budaya, melainlan dobrakan dari dua anak muda relegius "udik" Purbalingga. Sebuah wilayah bahasa ngapak, teritorium budaya Banyumasan di Jawa Tengah Selatan.
Bagi yang paham budaya Banyumasan, mungkin tidak heran terhadap ungkapan lagu "Bayar... Bayar...Bayar.." yang lugas, apa adanya tak tedeng aling- aling. Sebab, wilayah Banyumas ( Purbalingga, Purwokerto, Banjarnegara, Cilacap) memang sejak zaman kerajaan dikenal sebagai entitas budaya perlawanan. Lihat saja, wayang kulit, gending- gending, dalang jemblung, lengger hingga seni budaya yang lain. Selalu beda dan "melawan" nilai- nilai yang dianggap agung oleh pusat budaya Jawa, Keraton Yogya atau Solo.
Perlawanan budaya Banyumas juga sering ditandai dengan keluar dari pakem. Sehingga wayang kulit asal Banyumas akan disebut wayang kulit gagrag Banyumasan, gending-gending dan lagunya pun demikian, cum sering ditandai dengan wacana apa adanya, ekpresif yang disebut "Blakasuta". Blakasuta, budaya yang tampil nature, terbuka dan egaliter tak tedeng aling - aling.
Dengan hidup dalam budaya yang demikian, pilihan dua anak muda ini, yakni Twitter Angel (Novi) dan Alectroguy (Muhamad) mendirikan group Sukatani, dan mengusung genre new wave -punk - , bisa dikatakan pilihan jenius. Sebab diketahui, punk adalah musik pemberontakan anti kemapanan paralel dengan budaya Banyumas.
Dan itu sepertinya sangat disadari oleh dua anak muda itu. Bila dicermati, dari nama Sukatani sudah merujuk sesuatu yang beda dan unik, pun dengan sesama satu genre. Bila banyak kelompok musik punk benamai dengan nama dan istilah urban, Sukatani justru dipilih untuk menampilkan indentitas dua orang muda ini sebagai penghuni kampung, udik dan agraris.
Nama Sukatani tampaknya juga bukan nama untuk sekadar gaya dan tempelan, tapi ekpresi idelogi perjuangan mereka sebagai 'spiker" aktivisme agraris, lingkungan yang digeluti untuk melawan hegemoni budaya kapitalisme. Maka jangan heran, tiap manggung twitter Angel sang vokalis selalu membagikan sayur- sayuran untuk menegaskan indentitasnya.
Selamat datang Sukatani. Selamat berjuang ! Bayar...Bayar...Bayar...
*Teguh Wijaya, wartawan dan penulis lirik lagu "Bongkrek" yang viral di youtube hingga 13 juta viever.