Diskusi Rindu Rendra, Emha Memukau Hadirin Selama Tiga Jam

Adhi Massardi, Teguh Wijaya dan Emha Ainun Najib

Cipasera - 10 tahun atau satu dekade  wafatnya penyair sekaligus budayawan WS Rendra, Clara Shinta, putri Rendra bersama Komunitas Burung Merak menggelar  Megatruh, Satu Dekade Rindu Rendra, di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jakarta, pada Rabu dan Kamis, 6-7 November 2019.

Dalam Rindu Rendra diisi acara baca puisi karya Rendra dan lomba baca puisi melalui YouTube serta digelar diskusi. Acara diskusi bertajuk Megatruh Kambuh dipandu Teguh Wijaya, wartawan senior, menghadirkan Emha Ainun Nadjib, Rizal Ramli dan Adhie M. Massardi. Sayang Rizal mantan  Menko Maritim ini berhalangan hadir.

Pada pembukaan diskusi, Teguh  Wijaya, selaku moderator menjelaskan, semasa hidupnya Rendra melahirkan karya-karya puisi tentang masalah sosial, budaya dan politik yang bermanfaat bagi Indonesia. Teguh Wijaya, kemudian mengutip pidato WS Rendra berjudul Megatruh Kambuh dalam Menanggapi Kalabendu, pada acara pengukuhan Doktor Honoris Causa Bidang Kebudayaan di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 8 Maret 2008 silam.

Dalam pidato itu Rendra mengatakan, Ronggowarsito, seorang penyair pada abad 19 menggambarkan zaman pancaroba sebagai kalatida dan kalabendu. Zaman kalatida adalah zaman ketika akal sehat diremehkan.Perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tak adil, tidak digubris. Krisis moral adalah buah dari krisis akal.sehat.Kekuasaan merata dan merajalela karena erosi tata nilai terjadi di lapisan atas dan bawah.

Zaman kalabendu adalah zaman yang mantap stabilitasnya,tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan malah didewakan. Ulama ulama mengkhianati kitab suci. Penguasa lalim tak bisa ditegur. Korupsi dilindungi. Kemewahan dipamerkan di samping jeritan kaum miskin dan tertindas. Penjahat dipahlawankan, orang jujur ditertawakan dan disingkirkan.

“Apa yang dikatakan mas Willy (Rendra) dalam pidatonya itu sesungguhnya masih relevan dan kontekstual dengan kondisi Indonesia sekarang ini,” kata Teguh  Wijaya.

Emha Ainun Nadjib, menceritakan bagaimana kondisi fisik dan batin Rendra ketika sakit dan menjelang ajal.”Saya selalu hadir di akhir hayat Rendra. Sebagai manusia seutuhnya dia wafat dalam kondisi husnul khatimah,” kata Emha.

Budayawan dan penyair kelahiran Jombang yang kini bermukim di Yogyakarta itu mengatakan, banyak hal yang bisa dipetik dari karya-karya karya yang lahir dari Rendra.

“Hingga kini saya masih mengingat karya Rendra yang dihasilkan. Dengan karyanya (Rendra), Indonesia memiliki putra bangsa yang hingga kini masih dikenang karyanya” ujar budayawan yang akrab dipanggil Cak Nun itu. Ia menuturkan, karya-karya Rendra dapat dijadikan referensi mengenai kritik politik di Indonesia.

Uraian Cak Nun yang banyak diwarnai sentilan, sindiran dan humor selama diskusi  yang berlangsung selama  tiga jam lebih, itu memukau hadirin.

Sementara Adhi M.Massardi mengungkapkan, Rendra adalah Mastodon Kebudayaan. Dia bukan sekadar penyair atau dramawan tapi juga tokoh pergerakan kebudayaan. Dia menularkan gerakan perubahan untuk kesejahteraan bangsanya.

Dalam diskusi hadir pula Taufik Ismail, penyair yang juga sahabat dekat Rendra. Taufik membacakan sajaknya yang ditulis khusus untuk Rendra "100 Baris Puisi Mengenang Sahabat Kita Rendra, 2009 ".  Puisi tersebut membuat haru sekira 400 hadirin dari berbagai kalangan.

Tak hanya Taufik, dalam diskusi mederator juga meminta Adi Kurdi, pemain film dan dramawan ini memberi testimoni. "Meskipun Rendra orang yang  cerdas dan luas wawasannya, dia adalah orang tua yang sayang keluarga. Saya waktu itu mahasiswa, menemui mas Willy ( Rendra) di rumahnya, dia lagi nyuci baju anak -anaknya. Sambil mencuci dia bicara filsafat, estika dan kesenian. Luar biasa. Dari situ saya tertarik dengan dia dan gabung dengan bengkel teater asuhannya," kata Adi menceritakan awal pertemuannya dengan Rendra

Rendra lahir di Solo, 7 November 1935 , Jawa Tengah.  Pria yang bernama panjang Willibrodus Surendra Broto Rendra ini semasa hidupnya, selain menulis  puisi, esai, lakon drama juga pernah main film. Sajak kritik sosial "Potret Pembangunan Dalam Puisi"  sering dibacakan di kampus kampus. Dan ia sempat dilempar bom amoniax saat baca sajak protesnya.  Tapi penyair yang dijuluki Si Burung Merak tetap kreatif walau banyak dicekal.

WS Rendra wafat pada 6 Agustus 2009  di Depok, Jawa Barat dan dimakamkan di Bengkel Teater, Cipayung, Depok.  (KD)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel