Parmusi Nafas Panjang Yang Harus Dihela
Rabu, 05 Oktober 2016
Edit
Chavchay Syaifullah |
Chavchay Syaifullah
Wartawan, Sastawan dan Ketua Dewan Kesenian Banten
Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) tentu bisa
menjadi organisasi kemasyarakatan yang gigantik, ikon umat Islam yang
prestisius, serta memainkan peran strategis yang mampu mengonsolidasikan
potensi kekuatan umat Islam di Indonesia, bila Parmusi secara berkelanjutan terus
mengikhtiarkan pemahaman-pemahaman yang tepat tentang keIslaman dan
keIndonesiaan. Dua mainstream values ini
harus menjadi fundamen yang inevitable
dalam pengembangan Parmusi baik di level ideologi hingga ke level program.
Dialog keIslaman dan keIndonesian adalah proyek besar bagi
kaum Islam di Indonesia. Ini bukanlah pekerjaan instan. Parmusi butuh nafas
panjang untuk menghela aspirasi umat di zaman yang makin sesak dengan
kepentingan global ini. Belum lagi kalau bicara tentang sejauh mana Parmusi
perlu mengelaborasi antara pemahaman kader-kadernya tentang keIslaman dan
keIndonesiaan dengan tindakan-tindakan nyatanya di lapangan keorganisasian.
Parmusi perlu melihat aspek keIslaman yang tidak saja bertumpu
pada upaya menempatkan al-Quran, hadits, ijma, dan qiyas sebagai sumber hukum
semata, melainkan menjelma sebagai tuntunan hidup yang komprehensif, bahkan bersifat
keseharian dan subtil. Tidak saja bersifat individual, namun sekaligus sosial. Hal
ini lantaran Islam adalah agama yang bukan saja mengajarkan kebaikan individu,
namun juga kesalehan sosial yang diwujudkan lewat gerakan kebaikan berjamaah
dalam segala hal. Pada poin inilah kita butuh organisasi semacam Parmusi. Maka
Parmusi harus menempatkan posisinya sebagai kendaraan umat Islam yang ingin
mewujudkan kerja sosial yang dilakoni secara berjamaah untuk melahirkan
kebaikan bersama umat manusia.
Jika pemahaman keIslaman kader-kader Parmusi sudah pada
tingkat demikian, maka sepak terjang organisasi memiliki atmosfer yang menyegarkan
kehidupan umat Islam di Indonesia. Penghayatan ajaran-ajaran Islam akan mendapat
ruang aktualisasinya secara benar. Wahyu-wahyu Allah SWT diamalkan di dalam
kehidupan nyata secara berjamaah dalam organisasi yang berasaskan Islam.
Di dalam al-Quran dijelaskan: “Saling menolonglah kalian dalam hal kebaikan dan taqwa, serta janganlah
saling menolong dalam dosa dan permusuhan”. (QS 5 : 2). Maka Parmusi sebagai
organisasi yang menghimpun kekuatan umat Islam harus mampu merumuskan
program-program keorganisasiannya yang tidak saja preventif dari arus besar
kejahatan dan kenistaan, melainkan harus proaktif menerbitkan program-program
yang membuat umat Islam terdorong untuk berbuat baik secara kolektif dan
progresif. Kalau terjadi hal demikian, maka fungsi organisasi kemasyarakatan
yang berasas Islam telah berhasil dilaksanakan oleh Parmusi. Parmusi, dengan
begitu, tidak saja mencetak pribadi yang saleh, melainkan melahirkan jamaah
yang kuat lahir dan batin, menjadi generasi masa depan yang berbuat kebaikan secara
bersama dan untuk bersama.
Connecting Muslim: Sebuah Nafas Panjang
Untuk menyegarkan perubahan politik yang terjadi di tanah air pada era
reformasi 98, organisasi kemasyarakatan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi)
dideklarasikan pada tanggal 26 September 1999 di Hotel Ambarukmo, Yogyakarta. Parmusi
yang hadir di tahun itu bukanlah sebagai Partai Muslimin Indonesia seperti yang
didirikan pada tanggal 7 Mei 1967 oleh 16 ormas Islam.
Sebagai organisasi kemasyarakatan, Parmusi diharapkan
bisa hadir menyiapkan agenda-agenda politik yang selama zaman Orde Baru
dikerangkeng. Namun demikian, strategi ini tidak sepenuhnya dipahami oleh
hampir seluruh kader dan penerus Partai Muslimin Indonesia yang mengklaim
sebagai Keluarga Bintang Bulan (Masyumi). Maka yang terjadi
secara individual dan sektoral Keluarga Bintang Bulan jatuh ke dalam politik
yang dangkal dan bersifat jangka pendek. Mereka tidak saja bergabung pada
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai utama sesuai fusi partai
politik Islam tahun 1973, tetapi menyebar ke banyak partai politik.
Keadaan ini menyebabkan hampir dua windu Parmusi sebagai
organisasi kemasyarakatan belum mampu menggeser orientasi gerakannya dari
politik praktis ke gerakan yang berorientasi pada dakwah, sosial, ekonomi dan
pendidikan. Pada periode kepengurusan Parmusi hasil Muktamar III di Batam, Kepulauan
Riau, visi dan misi Parmusi sebagai ormas diorientasikan kepada gerakan dakwah,
sosial, ekonomi, dan pendidikan yang dikemas dalam satu balutan strategi
sebagai Connecting Muslim.
Pasca Muktamar III di Batam, Parmusi meneguhkan kiprahnya
bukan saja menyentuh pada aspek historis dan praktis semata, namun bermetamorfosis
sebagai gerakan yang menyentuh masalah-masalah keumatan dalam spektrum yang
lebih luas, dengan menetapkan strategi gerakannya melalui paradigma baru, yaitu
“Connecting Muslim: Berbasis Dakwah,
Sosial, Ekonomi Dan Pendidikan”.
Connecting Muslim sesungguhnya
adalah suatu upaya dari gerakan Parmusi untuk lebih menangkap
Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal yang membawa pesan-pesan
perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan bagi semua umat manusia, khususnya umat
Islam. Connecting Muslim juga
merupakan upaya perekat gerakan dakwah menuju Islam sebagai anugerah semesta (rahmatan lil ’alamin).
Di dalam sejarah, tokoh Islam berpengaruh di Indonesia seperti H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad
Dahlan, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, hingga Buya Hamka, kita bisa menyaksikan
bagaimana Connecting Muslim menjadi
kunci bagi berdirinya Indonesia di atas pijakan pluralisme yang inklusif dan
egaliter. Sengketa pemikiran tentang dasar negara Republik Indonesia antara
Soekarno dan Natsir bisa diatasi dengan tanpa meninggalkan luka di antara para
pihak yang bersilang pendapat
Tidak hanya itu, Connecting
Muslim juga bisa menjadi jembatan bagi terciptanya iklim pengetahuan yang
sehat di tengah kehidupan umat Islam di Indonesia. Sebagaimana dipahami bahwa
Islam merupakan agama yang menempatkan ilmu pengetahuan di tengah kehidupan
masyarakat secara terhormat. Simak ayat: “Tanyakanlah
hai Muhammad! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dan mereka yang tidak
mengetahui?” (QS 39 : 9). Simak juga ayat: “Inilah kamu (wahai Ahl Al-Kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal
yang kamu ketahui, maka mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang tidak
kalian ketahui?” (QS 3 : 66)
Kedua ayat ini tidak saja menyebut betapa Islam
menghormati kedudukan kaum cendekia di dalam masyarakat, melainkan Islam dengan
keras menolak suatu pikiran dan pendirian tanpa adanya data objektif dan
ilmiah. Seruan al-Quran di atas juga merupakan seruan kepada setiap muslim
untuk menciptakan iklim kehidupan di dalam masyarakat yang mendorong kemajuan
ilmu pengetahuan..*