Berakhirnya Era Kemanusiaan



 
Emha Ainun Najib (Foto: Ist)

Oleh Emha Ainun Nadjib

Sungguh saya menantikan berakhirnya Era Kemanusiaan (’Insan’), beralih ke Era Hamba Tuhan (‘Abdulllah), berkembang menuju Era Khilafah (‘Khalifatullah’). Itu yang saya maksud Pasca Abad-21.
Sesuai dengan evolusi “6 hari penciptaan”: Sudah kita lewati Era Materi, Era Tetumbuhan dan Era Hewan, meskipun banyak manusia masih sering melorot menjadi benda yang profesinya diinjak dan dieksploitasi. Atau menikmati turun derajat menjadi hewan.

Yang dimaksud Allah “Ulaaika kal-an’aam, bal hum adhollu”, mereka seperti binatang, bahkan lebih hina – siapa lagi kalau bukan kita. Khilafah “cap apa” yang subjeknya kayak kita-kita ini.

“Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syattaa”, Allah berfirman: tampaknya kompak bersama, tapi hati terserak-serak. Teriak-teriak ‘persatuan dan kesatuan’, tapi sesungguhnya hati kita terpecah belah, memendam dendam dan ancaman satu sama lain. Masing-masing memenjarakan diri di sel nafsunya sendiri-sendiri.

Semakin lama kita membangun kebodohan untuk menitipkan kepengurusan Negara ini kepada orang-orang yang selalu bermusuhan di antara mereka, tiap hari membuat hati kita galau dan hampir bikin pecah kepala kita. Kalau pas kasih sebiji mangga diumum-umumkan, ketika merampok sekebun duren, dirahasiakan.

Salah satu puncak kebodohan kita adalah terlalu mudah kagum, “gumunan” dan “kepencrutan”. Bahasa Maduranya tusrifu, taghlu, ghuluwwun, Jawanya kelegèn, Inggrisnya too much, Arabnya: lebai. Terlalu mudah mentuhankan tokoh, menabikan manusia dan mendewakan orang.

Bahkan kalau ada telethong Sapi dikasih ke kita, asal dibentuk atau dicetak dan diwarnai seperti ondé-ondé, kue bolu atau pukis, insya allah mak nyusss kita makan. Jangan pula kaget kalau keluar brandingnya: Ondé-ondé Pancasila, Bolu Syar’i dan Pukis Khilafah. Ditambah Kopi Muamalat, Sup Tol Laut, Sambel Blusukan.

Itu tidak usah membuat kita menyimpulkan bahwa kita sedang mengalami Era Lebai, dengan Rezim Tele-thong. Tapi memang kita mandatkan Tanah Air ini kepada para pemimpin yang pandai membangun dan cakap menyelesaikan masalah, tapi yang mereka pikirkan hanya pencapaian ambisinya sendiri, yang dilakukan hanya pemenuhan nafsunya sendiri.

Bangsa kita, terutama yang menengah dan atas: bukan hanya terkeping-keping, tapi sudah menjadi kepingan-kepingan. Melihat segala sesuatupun secara kepingan-kepingan. Kalau omong hidung, tak ingat pipi. Bahkan kalau diingatkan, marah: “Ini soal hidung, bukan pipi”. Kalau bicara depan, lupa belakang. Pada saat yang sama, tak bisa mengurai manis dari gula, meyakini yang panas hanya api, atau menyangka ombak adalah air.

Bangsa Indonesia dikepung, diaduk-aduk, diseret dan diapung-apungkan oleh desain besar, dengan skala besar dan strategi besar dan jangka panjang. Tapi memang bangsa ini luar biasa: sanggup meneruskan kehidupan hanya sebagai kepingan-kepingan yang terlempar-lempar oleh baling-baling raksasa globalisasi. Mampu terus menerus membiarkan dirinya dijadikan onderdil dan spare part, staf, alat-alat, objek dan pelengkap penderita dari langkah-langkah raksasa global yang mereka tidak pernah diperbolehkan untuk melihat substansinya, memahami hakikatnya dan menyadari kekejamannya.

Padahal bangsa Indonesia bukanlah hamparan benda-benda, batang-batang pohon dan kumpulan binatang, melainkan manusia-manusia. Bukan kumpulan narapidana yang hidup di sel-sel kesempitan berpikir, yang hidup dengan pita sempit rasionalitas dan mental sumbu pendek.

Kita digiring untuk meributkan Negara, hidup kita dibikin ribut oleh politik dan kekuasaan. Semua proses itu tidak “care” kepada kemanusiaan kita. Kita dipersaingkan dan dipertengkarkan oleh materi dan nafsu, sehingga tidak ingat bahwa tanda manusia adalah peradaban dan keberadabannya. Padahal Abad-21 adalah Era Supremasi Manusia. Abad “Human Right”.

Kalau “nyicil” bercermin ke Surah At-Tin, yang kita jalani sekarang ini adalah nilai dan peradaban pra-At-Tin atau pra-Budha. Maka teman-teman kita di negara-negara maju, yakni pelaku utama Abad Kemanusiaan, secara alamiah sangat terpikat oleh Budhisme. Sidharta Gautama gerah oleh puncak krisis kemanusiaan, karena manusia dipandang sebagai faktor utama dalam kehidupan.

Sebagaimana yang diberontak oleh Budha, pencapaian peradaban global saat ini adalah Supremasi Manusia dan Kemanusiaan, filosofi universalnya Hak Asasi Manusia, aplikasi sosialnya Demokrasi. Pusat pergerakan sejarah adalah egosentrisme manusia. Seakan-akan manusia eksis dengan sendirinya. Seolah-olah manusia menciptakan dirinya sendiri, sehingga ia merasa berhak atas dirinya dan alam semesta. 

Manusia seperti meng-ada begitu saja tanpa sebab akibat, kecuali karena dirinya sendiri. Tanpa asal usul, kecuali dari dirinya sendiri. Tanpa sangkan-paran, kecuali dari dan kepada dirinya sendiri. Semua faktor alam semesta yang lain harus mengabdi atau diabdikan kepada kepentingan manusia.

Tuhan, Nabi, Agama dan Kitab Suci sudah dikenal, tetapi hanya diposisikan sebagai bagian dari kekuasaan manusia. Tuhan didefinisikan tidak menurut Tuhan. Nabi tidak dipahami dengan berpedoman pada konsep Nubuwah. Era HAM belum bisa memilah antara Nubuwah, Risalah, Karamah, Khilafah, apalagi Walayah, Uluhiyah, Rububiyah. Agama pun dirumuskan sebagai karya manusia, sehingga Islam disebut Muhammadanism. Kitab Suci direvisi terus menerus disesuaikan dengan kepentingan manusia, yang meletakkan dirinya sebagai di atas apapun saja lainnya.

Maka Budha di dalam jiwa manusia modern keluar dari Istana, menguak cakrawala, mencari sejatinya manusia, posisinya, koordinatnya, asal usulnya, sangkan dan parannya. Tetapi jiwa manusia Indonesia yang ber-Pancasila, justru menenggelamkan diri lebih dalam, di lubuk keduniawian manusia yang Budha meninggalkannya. Tapi peluang untuk mengakhiri Era Kemanusiaan tetap sangat besar. Kalaupun tidak move on ke Era Abdullah kemudian Era Khalifatullah, kan bisa ke Era Hayawan. Kan kita sudah berlatih lama untuk itu. Bal hum adhollu. **

Yogya 14 Juni 2017.



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel