Berakhirnya Era Kemanusiaan
Kamis, 15 Juni 2017
Edit
Oleh Emha Ainun Nadjib
Sungguh saya menantikan berakhirnya
Era Kemanusiaan (’Insan’), beralih ke Era Hamba Tuhan (‘Abdulllah), berkembang
menuju Era Khilafah (‘Khalifatullah’). Itu yang saya maksud Pasca Abad-21.
Sesuai dengan evolusi “6 hari
penciptaan”: Sudah kita lewati Era Materi, Era Tetumbuhan dan Era Hewan,
meskipun banyak manusia masih sering melorot menjadi benda yang profesinya
diinjak dan dieksploitasi. Atau menikmati turun derajat menjadi hewan.
Yang dimaksud Allah “Ulaaika
kal-an’aam, bal hum adhollu”, mereka seperti binatang, bahkan lebih hina –
siapa lagi kalau bukan kita. Khilafah “cap apa” yang subjeknya kayak kita-kita
ini.
“Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum
syattaa”, Allah berfirman: tampaknya kompak bersama, tapi hati terserak-serak.
Teriak-teriak ‘persatuan dan kesatuan’, tapi sesungguhnya hati kita terpecah
belah, memendam dendam dan ancaman satu sama lain. Masing-masing memenjarakan
diri di sel nafsunya sendiri-sendiri.
Semakin lama kita membangun kebodohan
untuk menitipkan kepengurusan Negara ini kepada orang-orang yang selalu
bermusuhan di antara mereka, tiap hari membuat hati kita galau dan hampir bikin
pecah kepala kita. Kalau pas kasih sebiji mangga diumum-umumkan, ketika
merampok sekebun duren, dirahasiakan.
Salah satu puncak kebodohan kita
adalah terlalu mudah kagum, “gumunan” dan “kepencrutan”. Bahasa Maduranya
tusrifu, taghlu, ghuluwwun, Jawanya kelegèn, Inggrisnya too much, Arabnya:
lebai. Terlalu mudah mentuhankan tokoh, menabikan manusia dan mendewakan orang.
Bahkan kalau ada telethong Sapi
dikasih ke kita, asal dibentuk atau dicetak dan diwarnai seperti ondé-ondé, kue
bolu atau pukis, insya allah mak nyusss kita makan. Jangan pula kaget kalau
keluar brandingnya: Ondé-ondé Pancasila, Bolu Syar’i dan Pukis Khilafah.
Ditambah Kopi Muamalat, Sup Tol Laut, Sambel Blusukan.
Itu tidak usah membuat kita
menyimpulkan bahwa kita sedang mengalami Era Lebai, dengan Rezim Tele-thong.
Tapi memang kita mandatkan Tanah Air ini kepada para pemimpin yang pandai
membangun dan cakap menyelesaikan masalah, tapi yang mereka pikirkan hanya
pencapaian ambisinya sendiri, yang dilakukan hanya pemenuhan nafsunya sendiri.
Bangsa kita, terutama yang menengah
dan atas: bukan hanya terkeping-keping, tapi sudah menjadi kepingan-kepingan.
Melihat segala sesuatupun secara kepingan-kepingan. Kalau omong hidung, tak
ingat pipi. Bahkan kalau diingatkan, marah: “Ini soal hidung, bukan pipi”.
Kalau bicara depan, lupa belakang. Pada saat yang sama, tak bisa mengurai manis
dari gula, meyakini yang panas hanya api, atau menyangka ombak adalah air.
Bangsa Indonesia dikepung,
diaduk-aduk, diseret dan diapung-apungkan oleh desain besar, dengan skala besar
dan strategi besar dan jangka panjang. Tapi memang bangsa ini luar biasa:
sanggup meneruskan kehidupan hanya sebagai kepingan-kepingan yang
terlempar-lempar oleh baling-baling raksasa globalisasi. Mampu terus menerus
membiarkan dirinya dijadikan onderdil dan spare part, staf, alat-alat, objek
dan pelengkap penderita dari langkah-langkah raksasa global yang mereka tidak
pernah diperbolehkan untuk melihat substansinya, memahami hakikatnya dan
menyadari kekejamannya.
Padahal bangsa Indonesia bukanlah
hamparan benda-benda, batang-batang pohon dan kumpulan binatang, melainkan
manusia-manusia. Bukan kumpulan narapidana yang hidup di sel-sel kesempitan
berpikir, yang hidup dengan pita sempit rasionalitas dan mental sumbu pendek.
Kita digiring untuk meributkan
Negara, hidup kita dibikin ribut oleh politik dan kekuasaan. Semua proses itu
tidak “care” kepada kemanusiaan kita. Kita dipersaingkan dan dipertengkarkan
oleh materi dan nafsu, sehingga tidak ingat bahwa tanda manusia adalah
peradaban dan keberadabannya. Padahal Abad-21 adalah Era Supremasi Manusia.
Abad “Human Right”.
Kalau “nyicil” bercermin ke Surah
At-Tin, yang kita jalani sekarang ini adalah nilai dan peradaban pra-At-Tin
atau pra-Budha. Maka teman-teman kita di negara-negara maju, yakni pelaku utama
Abad Kemanusiaan, secara alamiah sangat terpikat oleh Budhisme. Sidharta
Gautama gerah oleh puncak krisis kemanusiaan, karena manusia dipandang sebagai
faktor utama dalam kehidupan.
Sebagaimana yang diberontak oleh
Budha, pencapaian peradaban global saat ini adalah Supremasi Manusia dan
Kemanusiaan, filosofi universalnya Hak Asasi Manusia, aplikasi sosialnya
Demokrasi. Pusat pergerakan sejarah adalah egosentrisme manusia. Seakan-akan
manusia eksis dengan sendirinya. Seolah-olah manusia menciptakan dirinya
sendiri, sehingga ia merasa berhak atas dirinya dan alam semesta.
Manusia
seperti meng-ada begitu saja tanpa sebab akibat, kecuali karena dirinya
sendiri. Tanpa asal usul, kecuali dari dirinya sendiri. Tanpa sangkan-paran,
kecuali dari dan kepada dirinya sendiri. Semua faktor alam semesta yang lain
harus mengabdi atau diabdikan kepada kepentingan manusia.
Tuhan, Nabi, Agama dan Kitab Suci
sudah dikenal, tetapi hanya diposisikan sebagai bagian dari kekuasaan manusia.
Tuhan didefinisikan tidak menurut Tuhan. Nabi tidak dipahami dengan berpedoman
pada konsep Nubuwah. Era HAM belum bisa memilah antara Nubuwah, Risalah,
Karamah, Khilafah, apalagi Walayah, Uluhiyah, Rububiyah. Agama pun dirumuskan
sebagai karya manusia, sehingga Islam disebut Muhammadanism. Kitab Suci
direvisi terus menerus disesuaikan dengan kepentingan manusia, yang meletakkan
dirinya sebagai di atas apapun saja lainnya.
Maka Budha di dalam jiwa manusia
modern keluar dari Istana, menguak cakrawala, mencari sejatinya manusia,
posisinya, koordinatnya, asal usulnya, sangkan dan parannya. Tetapi jiwa
manusia Indonesia yang ber-Pancasila, justru menenggelamkan diri lebih dalam,
di lubuk keduniawian manusia yang Budha meninggalkannya. Tapi peluang untuk
mengakhiri Era Kemanusiaan tetap sangat besar. Kalaupun tidak move on ke Era
Abdullah kemudian Era Khalifatullah, kan bisa ke Era Hayawan. Kan kita sudah
berlatih lama untuk itu. Bal hum adhollu. **
Yogya 14 Juni 2017.