Mengungkap Sekitar Putusan MK , Perlindungan Kritik Publik
Cipasera - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 105/PUU-XXII/2024 : Lembaga negara dan korporasi tidak boleh mengajukan gugatan pencemaran nama baik menjadi sorotan publik. Hal itu karena dinilai memiliki implikasi yang signifikansi terhadap dinamika demokrasi digital di Indonesia, khususnya dalam ruang media sosial. Putusan ini memutuskan pengujian terhadap norma dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Khususnya berkaitan dengan pasal-pasal yang selama ini sering dipakai untuk menjerat warganet atas dugaan ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan penyebaran informasi yang meresahkan. Putusan MK 105 juga seolah membuka peluang bagi meningkatnya kembali perang pendengung alias buzzer di media sosial. Seperti kita ketahui, perang buzzer kerap terjadi ketika kritikan menghantam pemerintah atau rezim berkuasa.
Gugatan judicial Review yang diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, M.A, warga Desa Karimunjawa RT 04/RW 03, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah dengan pengacaranya Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., dkk.
Putusan ini berimplikasi pada beberapa hal, antara lain MK menegaskan bahwa frasa "orang lain" dalam Pasal 27A UU ITE hanya merujuk pada individu perseorangan, (bukan lembaga pemerintah, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan). Ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan pasal tersebut untuk membungkam kritik terhadap lembaga publik.
Putusan MK juga memberikan perlindungan terhadap Kritik Publik, putusan itu juga menegaskan bahwa kritik terhadap kebijakan pemerintah, lembaga publik, atau korporasi di ruang digital tidak dapat dijerat pidana pencemaran nama baik, asalkan dilakukan dalam kepentingan umum dan tidak melanggar hukum lain. Ini juga penegasan delik aduan, artinya hanya dapat diproses atas laporan individu. Kritik sebagai Bagian dari Demokrasi, MK menekankan bahwa kritik, meskipun tajam dan mengandung ketidaksetujuan, harus dijamin eksistensinya sebagai bentuk pengawasan terhadap penyelenggaraan kekuasaan.
Putusan itu juga berimplikasi terhadap Penegakan Hukum, MK menekankan bahwa kritik, meskipun tajam dan mengandung ketidaksetujuan, harus dijamin eksistensinya sebagai bentuk pengawasan terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Secara keseluruhan, putusan MK ini juga merupakan langkah penting dalam menegakkan kebebasan berekspresi dan melindungi hak-hak warga negara dalam menyampaikan kritik seperti halnya pisau bermata dua.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 105/PUU-XXII/2024 akhir akhir ini menjadi sorotan publik karena dinilai memiliki implikasi yang signifikan terhadap dinamika demokrasi digital di Indonesia, khususnya dalam ruang media sosial. Putusan ini memutuskan pengujian terhadap norma dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya berkaitan dengan pasal-pasal yang selama ini sering dipakai untuk menjerat warganet atas dugaan ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan penyebaran informasi yang meresahkan.
MK dalam putusannya menyatakan bahwa sejumlah pasal dalam UU ITE tetap konstitusional, namun dengan beberapa penegasan interpretatif. Mahkamah menyatakan bahwa penegakan hukum terhadap ujaran di media sosial harus menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian, proporsionalitas, serta tidak boleh mengabaikan hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat.
Meskipun secara normatif putusan ini bertujuan melindungi kebebasan berekspresi, di sisi lain banyak pihak yang khawatir bahwa kelonggaran penafsiran terhadap pasal-pasal tertentu justru bisa menjadi celah bagi bangkitnya kembali buzzer politik yang selama ini menjadi momok dalam ruang digital Indonesia.
Buzzer: Mesin Opini yang Kontroversial
Pendengung atau dalam Bahasa inggris sering disebut Buzzer. Buzzer—akun atau individu yang secara masif menyebarkan narasi tertentu di media sosial, sering kali dengan tujuan politik atau ekonomi—telah menjadi fenomena yang memecah belah opini publik. Mereka mampu menciptakan realitas alternatif, membentuk persepsi publik, bahkan membungkam kritik dengan narasi tandingan yang terkoordinasi.
Putusan MK ini, menurut sebagian pengamat, berpotensi memperlonggar batas tanggung jawab hukum atas konten digital, yang bisa dimanfaatkan oleh aktor-aktor buzzer untuk kembali mendominasi percakapan publik tanpa takut konsekuensi hukum yang tegas.
Kebebasan Ekspresi vs Manipulasi Opini, di satu sisi, putusan MK menguatkan posisi masyarakat sipil yang selama ini khawatir dengan kriminalisasi pendapat di media sosial. Namun, di sisi lain, ketika tidak diiringi dengan pengawasan dan literasi digital yang kuat, kelonggaran hukum ini bisa dieksploitasi oleh kelompok tertentu untuk menyebarkan disinformasi atau melakukan serangan politik terstruktur melalui media sosial.
Hal ini menjadi tantangan serius menjelang tahun-tahun politik ke depan. Dengan aturan yang lebih lentur, buzzer bisa kembali memainkan perannya secara lebih bebas, mengarahkan narasi sesuai kepentingan pemberi dana, tanpa cukup kontrol dari regulasi.
Apa yang Harus Dilakukan? Penguatan Literasi Digital: Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan memilah informasi, memahami konteks, dan mengenai strategi propaganda digital. Transparansi Platform Media Sosial: Platform seperti X, Facebook, dan TikTok perlu diajak bekerja sama dalam mengidentifikasi aktivitas tidak autentik atau akun-akun bayaran.
Etika dan Akuntabilitas Politik: Partai politik maupun tokoh publik harus diajak berkomitmen untuk tidak menggunakan jasa buzzer sebagai alat kampanye hitam atau manipulatif.
Putusan MK 105/PUU-XXII/2024 adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi angin segar bagi kebebasan berekspresi, namun juga membuka ruang gelap bagi perang buzzer yang mengancam kualitas demokrasi. Oleh karena itu, tantangan ke depan bukan hanya pada regulasi, tetapi juga pada budaya digital dan integritas publik itu sendiri.
Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 ini merupakan langkah penting dalam memperkuat kebebasan berekspresi dan memberikan kepastian hukum bagi warga negara dalam menyampaikan kritik terhadap pemerintah dan institusi publik. (VOI)