Jam Tangan Jendral dan Pak Wali

                                                    Foto : Iklan Rolex 

Oleh Teguh Wijaya 

Cipasera - Jenderal (Pur ) Moeldoko dan Walikota Benyamin Davnie mungkin tidak saling kenal. Yang satu sebagian hidupnya dihabiskan di militer, sedangkan yang satu birokrat tulen daerah, di pinggir Ibu Kota. 

Tapi kedua tokoh ini punya kesamaan "nasib", jadi perbincangan publik soal jam tangan yang akrab di tangan kirinya itu.  Jam tangan Moeldoko yang bermerk Richard Mille tipe RM 011 Felipe Massa Flyback Chronograph "Black Kite" dan ditaksir seharga Rp 1 Miliar. 

Lain halnya dengan Benyamin Davnie, jam tangan yang disorot warga adalah dua jam merk Rolex model Submariner Date Stainless Black dan Rolex Yacht-Master II. Diperkirakan harganya  Rp220 juta  dan Rp228,6. 

Benyamin sendiri tak menyangkal dua jam Rolex miliknya. Kepada wartawan mengatakan, jam tangan tersebut dibeli saat menjadi camat Cisoka. Dan tinggal satu, sebab yang satunya sudah dijual. 

Pengakuan Walikota Tangerang Selatan (Tangsel) dua periode ini alih - alih meredakan perbincangan masyarakat, justru makin ramai yang melontarkan kritik. Bahkan ada LSM  yang meminta KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi ) untuk memeriksanya. 

Apa sebenarnya yang  membuat masalah jam tangan mewah  ini sering  menarik perhatian banyak orang? 

Pertama-tama, barangkali masyarakat sering memiliki ekspektasi tinggi terhadap pejabat publik. Seorang pemimpin sepertinya harus  menunjukkan, bahwa mereka hidup sederhana dan tidak berlebihan menggunakan asesoris kemewahab.  Ketika seorang pejabat terlihat mengenakan barang  mahal, seperti jam tangan mewah, baju atau kendaraan, masyarakat merasa bahwa pejabat tersebut tidak peka terhadap kondisi masyarakat Tangsel yang belum semuanya sejahtera.  Dalam kasus ini, masyarakat  merasa kecewa karena jam tangan tersebut tampak bertolak belakang dengan kenyataan nilai hidup sederhana.

Selain itu,  kritik itu terlontar  sebenarnya bukan hanya soal harga jam tangan semata, melainkan lebih kepada simbolisasi dari kemewahan dan prioritas yang artifisial.  Dalam suasana ekonomi yang lesu,  masyarakat berharap pemimpinnya lebih fokus pada upaya perbaikan kesejahteraan rakyat dan jangan  menampilkan simbol kemewahan. Artinya  pejabat publik seharusnya lebih bijak dalam penampilan di depan umum.

Seiring perkembangan teknologi dan media sosial, arus informasi serta kapasitas masyarakat untuk mengawasi pejabat publik meningkat pesat. Media sosial memberikan platform luas bagi masyarakat untuk mengungkapkan pendapat, termasuk kritik.

Dan tak dapat dielak, itu menjadi  tekanan bagi pejabat agar lebih berhati-hati dalam bertindak dan membuat keputusan yang etis. Masyarakat kini memang banyak  menuntut transparansi dan akuntabilitas,  di mana setiap tindakan dapat diperiksa dan dievaluasi. Sebuah pengawasan  masyarakat madani yang ontentik. 


.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel