Masyarakat Tangerang Kutuk Empat Rumah Sakit Tak Manusiawi

 
Foto Bayi Yang Mati Mengenaskan. (Foto:Ist)
Masyarakat Tangerang mengutuk rumah sakit yang menolak bayi berumur 15 bulan untuk diawat dan berakibat   meninggal dunia. Erry Satya, dosen  di Universitas Islam Tangerang mengatakan, rumah sakit yang tak peduli pasien miskin, itu ahumanis dan mestinya Kemenkes membei sanksi keras menutup operasional rumah sakit tesebut..  

“Rumah sakit bukan hanya befungsi bisnis. Tapi juga kemanusiaan. Bahkan kemanusiaan haus didahulukan,” kata Satya. “Yang mengherankan, RSUD Kab Tangerang memberlakukan hal sama. Ini konyol. Bupati harus betindak supaya kejadian tak terulang,” tambah Satya.     

Seperti  ramai diberitakan, seorang  bayi perempuan berumur 15 bulan meninggal setelah ditolak empat rumah sakit di Kota Tangerang. Bayi bernama Mesiya Rahayu itu diketahui meninggal karena terlambat mendapat pertolongan pertama akibat infeksi paru-paru yang dideritanya.

Mesiya adalah anak kelima dari pasangan suami istri Undang Misrun (42) dan Kokom Komalasari (37), yang tinggal di sebuah kontrakan sempit di RT 02/01, Kelurahan Neglasari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang.

Menurut Misrun, peristiwa itu berawal saat anaknya tiba-tiba muntah dan sesak nafas pada Minggu kemarin sekitar pukul 01.00 WIB.

Dirinya bersama istri langsung membawa Mesiya ke klinik setempat. Di sana anaknya sempat ditangani. Namun, dokter klinik menyebutkan jika Mesiya terkena diare. Sang dokter lalu merujuknya ke Rumah Sakit Sitanala untuk segera dirawat.

“Saat di RS Sitanala, anak saya masuk di IGD. Saya sempat mengajukan BPJS. Tetapi tidak diterima karena punya saya BPJS Ketenagakerjaan. Akhirnya saya mendaftar sebagai pasien umum dengan membayar Rp370 ribu,” katanya, Senin (5/9/2016).

RS Sitanala pun melakukan penanganan dengan memberikan infus, menyuntikkan obat dan memberi bantuan pernafasan dengan oksigen. Dari hasil pemeriksaan dokter, Mesiya didiagnosa infeksi paru-paru.

“Kemudian pihak RS Sitanala memberikan rujukan dengan alasan tidak memiliki alat untuk menangani anak saya,” jelas Misrun yang bekerja sebagai sopir truk sampah di Dinas Kebersihan dan Pertamaman Kota Tangerang sebagai Tenaga Harian Lepas (THL) ini.

Tanpa diberi tahu harus ke mana, akhirnya Misrun mencari sendiri rumah sakit untuk merujuk putrinya.
Sementara anaknya masih dirawat di IGD, Misrun pun berkeliling dengan mengendarai sepeda motor. Dia sempat mendatangi empat rumah sakit, yakni RSUD Kabupaten Tangerang, RS Sari Asih Karawaci, RS Melati dan RS Ar-Rahman. Namun semua rumah sakit itu menolaknya dengan alasan kamar penuh.

“Saya datang bawa surat rujukan, pihak rumah sakit cuma bilang kamar penuh. Mereka tidak menanyakan KTP saya ataupun kondisi anak saya. Saya enggak mengerti kenapa,” ujarnya.

Lantaran terlalu lama mendapat pertolongan, Meisya pun kritis. Nafasnya menjadi sesak hingga akhirnya pada Minggu pukul 23.30 WIB, nyawanya tidak tertolong. “Sebelumnya, nafasnya jadi berat dan sesak. Sempat ditolong dokter, dadanya ditekan-tekan tapi tidak berhasil,” ujar Misrun.

Misrun mengaku kecewa dengan pelayanan rumah sakit di Kota Tangerang. Padahal dia hendak mendaftar sebagai pasien umum dengan membayar sendiri biaya pengobatan, bukan dengan bantuan BJPS. “Jadi pasien biasa aja begini, gimana saya pakai BPJS,” ujarnya.

Misrun juga mengatakan, meski sudah bekerja menjadi petugas kebersihan di DKP selama hampir 22 tahun, namun dia tidak mendapat jaminan kesehatan untuk keluarga. Setiap keluarganya sakit, dia harus membayarnya sendiri.

“Tidak ada bantuan kesehatan, semua pakai biaya sendiri,” pungkasnya.Jenazah Mesiya sudah dimakamkan di TPU Selapajang pagi tadi pukul 09.30 WIB setelah disemayamkan di rumahnya. (Ts/OKZ)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel