Humaira, Narasi Perempuan Pipi Kemerahan
Selasa, 16 Mei 2017
Edit
Rini Intama (Foto: Ist) |
Oleh
Teguh Wijaya
Tangerang kini punya penyair wanita. Dialah Rini Intama. Rini tergolong “penyair Facebook” sebab dia tampil saat FB mulai dijadikan media ekpresi oleh masyarakat. Namun Rini bukan euphoria. Disaat banyak yang surut ia justru rajin menulis dan membukukan karya-karyanya berupa novel, cerpen dan puisi.
Rini Intama yang sehari –hari sebagai
ibu rumah tangga itu pernah
menerbitkan novel Panggil
Aku Layung. Kumpulan cerpen A Yin,
Gemulai Tarian Naz dan beberapa buku kumpulan
puisi, diantaranya, Jejak Sajak Rini dan
Kidung Cisadane. Buku puisi Kidung Cisadane menyabet sebagai
buku Terbaik 5 Dewan Kesenian Jakarta
2016.
Beberapa waktu lalu lima puisi Rini
Intama kelahiran Garut, 21 Pebruari ini dimuat Harian Banjarmasin Post, Minggu, 14 Mei 2017. Lima puisi
tersebut mengangkat tema berbeda.
Namun dari lima puisi Rini Intama tersebut, saya sangat tertarik dengan satu
puisi yang bertajuk Humaira.
Saya tertarik karena puisi tersebut ditulis dengan sederhana dalam bentuk, struktur kalimat dan pengucapannya. Tapi yang lebih menarik adalah pesan puisi ini. Rini agaknya ingin bicara tentang seorang tokoh perempuan yang berpengaruh dalam perkembangan Islam. Perempuan yang dikarunia wajah cantik dan kulit putih ini bila kena sinar matahari akan kemerah –merahan sehingga Nabi Muhamad, memanggil dengan panggilan humaira (yang pipinya kemerah –merahan). Dialah Aisyah. Tiap muslim dipastikan pernah mendengar namanya.
Saya tertarik karena puisi tersebut ditulis dengan sederhana dalam bentuk, struktur kalimat dan pengucapannya. Tapi yang lebih menarik adalah pesan puisi ini. Rini agaknya ingin bicara tentang seorang tokoh perempuan yang berpengaruh dalam perkembangan Islam. Perempuan yang dikarunia wajah cantik dan kulit putih ini bila kena sinar matahari akan kemerah –merahan sehingga Nabi Muhamad, memanggil dengan panggilan humaira (yang pipinya kemerah –merahan). Dialah Aisyah. Tiap muslim dipastikan pernah mendengar namanya.
Saya yakin, Humaira yang dijadikan judul dalam puisi Rini ini, yang dimaksud Rini adalah istri nabi yang bernama Aisyah itu, putri Abubakar . Sebab kosa kata humaira ini sudah sangat lekat dengan Siti Aisyah, istri nabi yang “istimewa” terbut. Dan dasar tafsir ini diperkuat oleh dua baris kalimat 4 dan 5 bait pertama:
Perempuan yang memenuhi dadanya
dengan kisah cahaya
Tentang wahyu yang dititipkan tuhan
Aisyah memang perempuan beruntung. Sebagai istri nabi ia banyak menyaksikan peristiwa penting yg berkaitan dengan perkembangan islam dan turunnya wahyu kepada suaminya. Sebab Humaira setelah dinikahi Nabi, dia mendapat kamar di dekat masjid Nabawi, di Madinah. Di rumah itulah beberapa wahyu turun kepada nabi. Dan Humaira pernah beberapa kali menyaksikan.
Ya memang, banyak wahyu turun periode Madinah sehingga sebagian ayat disebut sebagai surah –surah Madaniah. Dan Rini sangat menarik melukiskan itu seperti dalam baris kalimat 4 dan 5 itu. Hanya saja yang mengganjal, kenapa pada baris kalimat lima kata “tuhan” ditulis dengan huruf kecil?
Narasi Humaira istri Nabi dalam puisi Humaira semakin kuat saat menyimak bait terkahir puisi ini. Dengan kalimat yang plastis, Aisyah digambarkan sebagai berikut:
Humaira, adalah lukisan malam di atas kain hijau
Dialah sang pelipur lara yang dikirimkan jibril
Dalam kasidah perjalanan Mekkah ke Medina
Humaira menjadi istri Nabi setelah Nabi ditinggal wafat istri pertamanya. Ia dinikah ketika umurnya masih belia dan itu berkat perintah Alloh SWT melalui Jibril. Rini menggambarkannya Dialah sang pelipur lara yang dikirimkan Jibril .
Dan Rini benar, Humaira sebagai istri tentunya juga menjadi pelipur disaat Nabi dakwah dan perang. Selain itu, Nabi sangat mencintai kecerdasan, moral dan taqwanya. Maka ketika suatu kali beliau ditanya, siapa perempuan yang paling dicintainya? Sebuah versi menyatakan, Nabi menyebut Aisyah si Humaira.
Meski demikian, perjalanan Humaira mendampingi Nabi Muhamad tak selamanya mulus. Dia pernah diguncang fitnah perselingkuhan denga Shafwan. Gara –gara berliannya yang dibungkus kain hijau jatuh dalam perjalanan. Karena capek mencari akhirnya Humaira tertidur. Saat terbangun Shafwan menolong menuntunkan untanya. Tak lama kemudian fitnah itu beredar dan nyaris membubarkan pernikahannya dengan Nabi. Maka turunlah ayat yang membebaskan fitnah keji itu dari wanita yang berpipi kemerah –merahan.
*Teguh Wijaya, wartawan senior pecinta puisi