Pengarang Kenamaan Itu Terbuang dan Sakit tak Tertanggungkan
Kamis, 24 Agustus 2017
Edit
Hamsad dahulu (kiri) dan Kini (kanan). Miris (foto:ist) |
Cipasera.com - Sastrawan kenamaan Indonesia itu kini nasibnya mirip cerita pendek yang ditulisnya. Hidupnya menderita. Terbaring lemah tak bisa begerak. Bahkan untuk sekadar tersenyum pun tak mampu. Yang lebih tragis, ia terusir dari rumahnya karena areal rumahnya "diserobot" Pemkot Depok, Jawa Barat untuk Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS).
Alhasil bau nyengat, belatung, kecoa dan tikus menyerbu rumahnya. Ia pun sakit dan pergi terusir... kini terbaring di rumah petak untuk menghindari bau busuk dan serbuan binatang menjijikan.
Dan Hamsad Rangkuti sakitnya makin parah. Ia hanya bisa terbaring lemah. Meski masih memiliki kesadaran, Hamsad sudah tidak mampu bergerak Lagi.
Ass bapak Kurniawan yth , semoga Bapak senantiasa dalam lindungan Allah SWT Aamiin .
Bang Hamsad Rangkuti sudah seperti bayi ( + selang sonde + oksigen . Ga bisa makan , bicara , tertawa ,menangis diam seribu basa
Sudah 15 bln beliau terbaring ga bisa apa2 . Saya mohon doa dan bantuan Bapak untuk berobat dan untuk beli PROTEN .
Sebelumnya saya mohon maaf selalu menyusahkan Bapak dan tak lupa menghaturkan banyak tks pada Bapak yth .
Wass
bu Nur H R .
BNI cabang Margonda, Depok, nomor 0106423653 atas nama Hamsad Rangkuti.
Atau jika ingin melihat Hamsad Rangkuti secara langsung, dapat mengunjunginya di Swadya 8 RT 3 RW 3 Tanah Baru Depok, Pondok/Villa Ato, Depan, Jabar
*
Sebelum sakit parah, pria yang pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Horison itu keadaannya baik-baik saja. Sampai pada tahun 2009, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok mengambil tanahnya secara sepihak, membangun tempat pembuangan sampah sementara (TPSS) di lahan berukuran 5x12 meter, tak jauh dari rumahnya.
sempat melawan, tapi kalah. Pemkot Depok tetap melakukan pembangunan di atas tanah miliknya. Ironisnya, keluarga Hamsad tidak mendapat uang pengganti.
Sejak saat itu, ia pun sering sakit-sakitan. Rumah yang menjadi sumber inspirasi dan tempat ia menulis tak lagi terasa hangat.
Penyakitnya semakin parah. Bermula dari muntah-berak, kondisinya makin menurun. Pada tahun 2012, ia sampai harus melakukan operasi by pass jantung. Tak hanya itu, perutnya sampai-sampai harus dilubangi karena tak bisa lagi buang air kecil.
Penyakitnya semakin parah. Bermula dari muntah-berak, kondisinya makin menurun. Pada tahun 2012, ia sampai harus melakukan operasi by pass jantung. Tak hanya itu, perutnya sampai-sampai harus dilubangi karena tak bisa lagi buang air kecil.
"Bapak juga dua hari sekali mesti tambah oksigen. Makannya cuma bisa satu merek, namanya Proten," ujar Nurwindasari, istri Hamsad Rangkuti kepada wartawan.
Menurut Nur, dalam satu bulan suaminya butuh 9-10 boks Proten. Sementara harga satu boks Proten sekitar Rp 256 ribu. Pria yang pernah mendapat SEA Writer Award dari Pemerrintah Thailand pada 2008 itu tak lagi dirawat di rumah sakit. Biaya yang keluar terlalu besar untuk ditanggung keluarga tersebut.
Menurut Nur, dalam satu bulan suaminya butuh 9-10 boks Proten. Sementara harga satu boks Proten sekitar Rp 256 ribu. Pria yang pernah mendapat SEA Writer Award dari Pemerrintah Thailand pada 2008 itu tak lagi dirawat di rumah sakit. Biaya yang keluar terlalu besar untuk ditanggung keluarga tersebut.
Malahan, rumah di Depok yang ia beli dari honor menulis pun kini tinggal terbengkalai. Tidak bisa ditempati atau dijual karena tak ada yang mau membeli rumah yang dekat dengan bak sampah. Sementara Pemkot Depok tak pernah datang memberi bantuan.
Penghargaan:
Sebagai sastrawan, nama Hamsad Rangkuti sering mendapat penghargaan, antara lain:
- Penghargaan Insan Seni Indonesia Mal Taman Anggrek & Musicafe (1999)
- Penghargaan Sastra Pemerintah DKI (2000)
- Penghargaan Khusus Kompas atas kesetiaan dalam penulisan cerpen (2001)
- Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2001)
- Pemenang Cerita Anak Terbaik 75 Tahun Balai Pustaka (2001) untuk "Umur Panjang untuk Tuan Joyokoroyo" dan Senyum "Seorang Jenderal pada 17 Agustus"
- SEA Write Award (2008)
- Khatulistiwa Literary Award 2003 untuk Bibir dalam Pispot
- Hadiah Harapan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 1981 untuk Ketika Lampu Berwarna Merah
Buku :
- Bibir dalam Pispot atau Lips on the Chamber Pot", translated by Harry Aveling (Angkor Verlag; Kindle E-book 2015)
- Sampah Bulan Desember: Kumpulan Cerpen
- Panggilan Rasul: Kumpulan Rasul
- Ketika Lampu Berwarna Merah
- Lukisan Perkawinan
- Cemara
- Mudik: Kumpulan Cerpen (Red/ts/lp6)