Ajip Rosidi : Membaca dan Menulis Tanpa Akhir

Maman dan Ajip Rosidi serta Nani Wijaya

Oleh : Maman S. Mahayana

Mungkinkah seseorang yang tidak lulus SMA dapat memperoleh gelar doktor honoris causa (doktor kehormatan yang diberikan sebuah institusi pendidikan atau universitas), bahkan mendapat sebutan professor pula?

Di Indonesia yang segala sesuatunya sering harus berurusan dengan aturan birokrasi, pemberian gelar kehormatan, seperti doktor honoris causa,pernah menimbulkan masalah. Belakangan, aturan itu diperlakukan  lebih luwes. Bukankah tidak sedikit orang-orang hebat yang kualitas intelektual, keluasan pengetahuan, kiprah dan kontribusinya bagi masyarakat lebih nyata dan konkret? Bukankah banyak juga mereka yang bergelar doktor atau professor, kiprahnya sebatas jago kandang di dalam kelas, tidak kelihatan sumbangannya bagi masyarakat yang lebih luas?

Itulah yang terjadi pada diri Ajip Rosidi. Ia –konon—tidak dapat memperoleh gelar itu lantaran pendidikannya tidak sampai sarjana. Ajip memang tak tamat SMA. Tetapi berkat hasil bacaan yang sangat luas dan karya-karyanya yang berlimpah, pada tahun 1967 sampai 1970, ia dipandang pantas untuk menjadi dosen luar biasa di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung. Kemudian, pada tahun 1981, berkat peranannya dalam bidang kesusastraan dan kebudayaan, Ajip Rosidi diangkat sebagai profesor tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka). Sejak itu, ia juga ditugasi mengajar di Tenri Daigaku (1982—1994) dan Kyoto Sangyo Daigaku (1982—1996).

Bagi komunitas dan pemerhati sastra dan budaya Indonesia, nama Ajip Rosidi niscaya tidak terlalu asing. Meskipun demikian, dalam perjalanan kesusastraan Indonesia, namanya cukup fenomenal sebanding Abdul Muis, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Iwan Simatupang atau  Sutardji Calzoum Bachri. Tentu saja, hal itu berarti kiprahnya dalam kesusastraan Indonesia cukup penting. Justru lantaran wilayah kesusastraan yang dimasuki Ajip Rosidi meliputi semua ragam sastra, di dalamnya termasuk sastra daerah, maka peranannya dalam dunia sastra –dan kebudayaan secara umum— berada dalam berbagai tempat.

Bagi sastrawan seangkatannya, ia dikenal sebagai tokoh yang sebagian hidupnya diabdikan untuk kepentingan sastra dan budaya. Dalam hal itu, ketokohan Ajip Rosidi telah menempati kedudukannya yang khas. Di situ pula kontribusinya punya makna penting. Oleh karena itu, menempatkan nama Ajip Rosidi dalam peta konstelasi kesusastraan Indonesia, mesti dalam perspektif yang lebih komprehensif. Bagaimanapun juga, Ajip Rosidi telah merentas jalannya sendiri. Perannya dalam membangun kesusastraan Indonesia, sungguh tak dapat diabaikan. Apalagi jika kita menghubungkaitkannya dengan latar belakang pendidikannya yang lebih banyak dijalani secara otodidak. Lewat cara itulah, ia telah menanamkan sebuah teladan, betapa hidup secara total dalam dunia kesenian (kesusastraan), dapat pula mengantarkan seseorang ke puncak karier yang membanggakan. Totalitas komitmen dan belajar sampai akhir hayat, itulah yang kunci keberhasilannya.
                                    *
Ajip Rosidi lahir di Jatiwangi, Majalengka, 31 Januari 1938. Sebagai anak seorang guru Sekolah Rakyat, sejak kelas satu Sekolah Rakyat, Ajip sudah pandai membaca. Buku koleksi ayahnya tentang cerita-cerita rakyat, baik yang berbahasa Sunda, maupun berbahasa Indonesia, boleh dikatakan sudah menjadi bagian dari kegiatan kesehariannya.

Tidak puas dengan buku-buku koleksi ayahnya atau buku-buku yang ada di perpustakaan sekolahnya, Ajip memburu buku ke tempat lain. Mendengar bahwa di rumah almarhum Dalem Obaso yang tinggal di Kadipaten, sekitar 15 kilometer dari Jatiwangi, tersedia sejumlah buku dan majalah milik mantan menak Sunda itu, Ajip bersama teman-temannya datang ke sana dan asyik-masyuk melahap buku-buku lama yang kebanyakan berbahasa Sunda. Kadangkala, Ajip mampir ke toko buku satu-satunya yang ada di kota kecamatan itu untuk membeli buku atau sekadar melihat-lihat saja. Itulah awal persahabatan dan kecintaannya pada dunia buku. Tanpa disadarinya, dari sanalah sesungguhnya perjalanan karier Ajip Rosidi dimulai.

Itulah sebabnya, dibandingkan dengan sastrawan seangkatannya –yang disebutnya Angkatan Sastrawan Terbaru— yang memulai kariernya pada dasawarsa tahun 1950-an, Ajip Rosidi tergolong sastrawan yang paling muda. Bahkan terlalu muda jika melihat usia kepengarangannya dimulai. Dalam usia 12 tahun, saat Ajip duduk di kelas 6 Sekolah Dasar di Jatiwangi tahun 1950, beberapa kali tulisannya dimuat dalam rubrik anak-anak suratkabar Indonesia Raya, sebuah media cetak nasional yang berwibawa dengan salah seorang redakturnya Mochtar Lubis.

Boleh jadi karena sejumlah tulisannya pernah dimuat suratkabar ibukota, Ajip memutuskan untuk melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jakarta (1951—1953).

Pada masa duduk di SMP itulah, karya-karya Ajip, baik prosa maupun puisi, mulai kerapkali menghiasi majalah sastra dan budaya, seperti majalah kebudayaan Indonesia, Mimbar Indonesia, Siasat, Zenith, Langkah Baru, yang di dalamnya sering muncul karya sastrawan angkatan sebelumnya. Jadi, saat Ajip ke sekolah dengan masih bercelana pendek, karya-karyanya sudah kerap dimuat berdampingan dengan karya pengarang terkenal seperti Chairil Anwar, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Asrul Sani, Mochtar Lubis, Achdiat Karta Mihardja, Utuy Tatang Sontani atau Aoh Karta Hadimadja.

Ketika itu, Ajip juga telah menjadi redaktur Suluh Peladjar (1953—1955), sebuah majalah bagi pelajar yang penyebarannya sudah hampir mencapai wilayah seluruh Indonesia.

Ketika melanjutkan sekolahnya di SMA Taman Madya Tamansiswa, Jakarta, kegiatannya dalam tulis-menulis benar-benar sudah tidak dapat dipisahkan lagi. Ia makin serius menekuni bidang ini. Maka, ia pun menerima tawaran untuk menjadi redaktur majalah bulanan Prosa (1955) bersama Sammah S.A. Beberapa majalah lain yang pernah ditanganinya, antara lain, Madjalah Sunda (1965—1967) dan majalah bulanan Budaja Djaja (1968—1979), sebuah majalah sastra dan budaya terbitan Jakarta yang pernah sangat berwibawa pada masanya.

Pada dasawarsa tahun 1950-an itu, selain mengurusi majalah Prosa, Ajip juga mengirimkan sejumlah karyanya untuk majalah dan suratkabar lain. Pada tahun itu pula, saat usia Ajip mencapai 17 tahun, terbit antologi cerpennya yang pertama, Tahun-Tahun Kematian (1955). Tahun berikutnya menyusul antologi puisi, Pesta (1956), antologi puisi bersama SM Ardan dan Sobron Aidit, Ketemu di Jalan (1956), dan dua antologi cerpen "Ditengah Keluarga" (1956) dan Sebuah Rumah buat Haritua (1956).

Antologi puisi Pesta kemudian terpilih sebagai pemenang Hadiah Sastra Nasional Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) untuk buku terbitan 1955—1956. Hadiah yang sama juga diberikan pada antologi cerpen Sebuah Rumah buat Haritua untuk buku terbitan 1957—1958.

Sejak itu, hampir setiap tahun Ajip menerbitkan karyanya sendiri, termasuk sebuah novelnya, Perdjalanan Penganten (1958), sebuah kisah yang mirip pengalaman pribadi pengarangnya.

Dalam peta novel Indonesia modern, Perdjalanan Penganten boleh dikatakan merupakan novel Indonesia pertama yang begitu kuat menggambarkan warna lokal etnik (Sunda). Belakangan, novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis (1976) dan bahasa Yugoslavia (1978). Sebuah novelnya yang terbit tahun 1979, Anak Tanah air, mengungkapkan bentuk kesaksian seorang Ajip Rosidi atas pusaran arus politik yang terjadi tahun 1960-an.
Sementara itu, cerpen, puisi, atau esai-esai lepasnya, masih terus bermunculan dalam majalah dan suratkabar yang terbit masa itu.

Dalam satu dasawarsa (1951—1960), berdasarkan jumlah karya yang dihasilkan sastrawan Indonesia periode itu, Ajip Rosidi tercatat sebagai sastrawan yang paling produktif. Ia telah menghasilkan 241 puisi dan 43 cerpen yang dimuat dalam 22 majalah.

Catatan ini tentu saja belum termasuk karya-karyanya yang dimuat dalam suratkabar serta karyanya yang berupa artikel atau esai-esai lepas. Peneliti dari School of Oriental and African Studies, University of London, Ernst Ulrich Kratz (1988), mencatat bahwa antara tahun 1951 sampai 1988, Ajip Rosidi telah menghasilkan 418 karya kreatif yang berupa cerpen (45 buah) dan puisi (373 buah).

Sampai sekarang, ada sekitar 100 judul buku yang lahir dari tangan Ajip Rosidi. Dari jumlah itu, lebih dari separohnya merupakan karyanya sendiri. Menurut keterangan Ensiklopedi Sunda (2000: 72), Ajip Rosidi tercatat menghasilkan 60 judul buku, terdiri dari antologi cerpen (5 buah), antologi puisi (9 buah), novel (2 buah), antologi esai (2 buah), karya penelitian (6 buah), karya umum (6 buah), biografi (3 buah), terjemahan (2 buah), transkripsi sastra daerah (9 buah), karya berbahasa Sunda (13 buah), dan editor antologi esai (3 buah).

Melihat begitu banyak jumlah buku yang telah dihasilkannya, tak pelak lagi, Ajip tergolong sastrawan yang sulit dicari bandingannya dalam deretan nama sastrawan Indonesia.

Boleh jadi lantaran kiprahnya itu pula, Ajip Rosidi kerap diundang ke berbagai pertemuan internasional. Pada thun 1970, misalnya, ia diundang mengikuti Konferensi PEN Club Asia di Taipe, kemudian hadir pula dalam Kongres PEN Internasional di Seoul (1970). Sebagai penyair, ia pernah pula diundang dalam Festival Penyair Internasional di Rotterdam tahun 1972.
                           *
Meskipun kegiatan kesehariannya menulis –dan tentu juga membaca— Ajip sama sekali tidak meninggalkan aktivitas lain, sejauh untuk memajukan sastra dan budaya. Dan itu dilakukannya bergandengan dengan perjalanan kariernya sebagai sastrawan.

Pada tahun 1954, dalam usia 16 tahun, ia dipercaya menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).  Dalam sejarah berdirinya lembaga itu (1950) sampai terakhir kali lembaga ini memberikan hadiah pada tahun 1960 --salah satu pemenangnya antologi cerpen Sebuah Rumah buat Haritua— Ajip Rosidi satu-satunya anggota termuda. Ia juga tercatat sebagai anggota pengurus pleno yang terpilih dalam Kongres tahun 1960.

Masih dalam usia muda, 18 tahun, tepatnya tahun 1956, Ajip Rosidi dipercaya pula menjadi anggota pengurus pleno Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS), sebuah lembaga yang berusaha memajukan bahasa dan sastra Sunda, didirikan tahun 1952. Sejak tahun 1957 sampai 1993, lembaga ini memberikan hadiah tahunan bagi karya sastra berbahasa Sunda. Dalam setiap lima tahun, LBSS menyelenggarakan kongresnya. Ajip sendiri belakangan terpilih sebagai Dewan Pembina lembaga itu (1993) dan kemudian mengundurkan diri tahun 1996.

Pada dasawarsa tahun 1960-an sampai tahunb 2000, Ajip bersama beberapa temannya, mencoba mendirikan penerbitan sendiri, seperti penerbit Kiwari (1962), Duta Rakjat (1965), Tjupumanik (1964) di Jatiwangi, Pustaka Jaya (1971), Girimukti Pasaka (1980) di Jakarta, dan Kiblat Buku Utama (2000) di Bandung. Selain itu, ia juga tercatat pernah dua kali menjadi Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) (1973—1976 dan 1976—1979). Menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sejak awal berdirinya tahun 1968 dan kemudian terpilih sebagai Ketua DKJ periode 1972—1981. Beberapa organisasi lain yang pernah dibidaninya, antara lain,  Paguyuban Pengarang Sastra Sunda (PPSS) dan pernah menjadi ketuanya (1966—1975). Ia juga tercatat sebagai salah seorang pendiri Yayasan PDS HB Jassin (1977).
                           *
Perhatian Ajip Rosidi terhadap kesusastraan dan kebudayaan, termasuk sastra dan budaya daerah, tidak hanya tercermin dalam sejumlah tulisannya sebagaimana yang dapat kita cermati dalam buku Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan (1995), sebuah buku yang menghimpun berbagai artikel dan makalah yang ditulisnya antara tahun 1964—1987, tetapi juga tampak dari tindakannya yang kongkret untuk memajukan bidang itu.

Pada tahun 1970, misalnya, ia mendirikan dan memimpin Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda  (1973). Hasil penelitiannya  itu kemudian dipublikasikan secara luas. Kemudian, pada 1989, ia secara pribadi memberikan hadiah sastra tahunan untuk karya sastra berbahasa Sunda untuk buku yang terbit tahun sebelumnya.

Setelah berlangsung selama lima tahun dan pemberian hadiah dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage, pemberian hadiah diperluas  dengan memberikan hadiah juga kepada karya sastra berbahasa Jawa dan Bali.

Berkat perhatiannya yang begitu besar terhadap sastra dan budaya, pada tahun 1993, Ajip Rosidi memperoleh penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia berupa Hadiah Seni. Pada tahun 1999, ia juga dianugerahi penghargaan Kun Santo Zui Ho Sho (The Order of Sacred Treasure Gold Rays with Neck Ribbon) dari pemerintah Jepang atas jasa-jasanya yang dinilai sangat bermanfaat bagi hubungan persahabatan Indonesia—Jepang. Satu penghormatan yang diberikan pemerintah Jepang, hanya kepada orang-orang tertentu yang dipandang benar-benar berjasa dan pantas memperoleh penghargaan itu.
                                *
Ajip Rosidi bagi kita laksana sebuah teladan, bagaimana konsep iqro (baca!) sebagaimana ayat pertama yang diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, diejawantahkan dalam kehidupan kesehariannya. Membaca bagi Ajip adalah kebutuhan rohani manusia, dan menulis merupakan bentuk implementasi dari apa yang telah dibacanya. Menulis juga tidak lain sebagai kesaksian atas kehidupan manusia dan kemanusiaan. Maka, ketika ia merasa agak mandek membaca dan mulai gagap menulis, ia akan diterjang kegelisahan yang luar biasa.

Bahwa Ajip Rosidi berhasil mencapai karier dan penghargaan yang begitu prestisus dan membanggakan, itu tidak lain merupakan buah dari pohon pengetahuan yang ditanamnya sejak sekolah dasar. Oleh karena itu, meski secara formal Ajip tidak tamat SMA, ia menggali dan melahapnya sendiri melalui bacaan yang berlimpah. Di perpustakaan dan lembaran-lembaran buku sesungguhnya pengetahuan dan wawasan tersimpan. Persoalannya tinggal, sanggupkah kita menggali dan melahapnya, sebagaimana yang telah dilakukan seorang Ajip Rosidi.
                         *
Pagi itu, Senin, 22 Juni 2020, saya mendapat kejutan. Telepon lewat WhatsApp dari Ajip Rosidi. Ajip Rosidi lalu bercerita lain-lain, tentang rencana penerbitan ulang antologi cerpen karya Nugroho Notosusanto, Brigjen, mantan Menteri Pendidikan yang juga pernah menjabat Rektor UI; penerbitan esa-esai Muhammad Rustandi Kartakusuma, sastrawan Indonesia pertama yang mengajar di Amerika Serikat, yaitu di Yale University, Harvard University, dan di Massachusetts Institute of Technology.

Seperti biasanya, saya menjadi pendengar yang baik. Semangatnya masih kencang. Sambil melontarkan berbagai kritik atas kurangnya perhatian pemerintah pada upaya penerbitan buku dan penghargaan pada sastrawan—penulis, ia lalu menyinggung rencana penerbitan esai-esai kritik yang ditulis Saleh Iskandar Poeradisastra, sastrawan seangkatannya yang sering memakai nama pena, Boejoeng Saleh, mantan dosen FSUI (1960—1962) dan dosen Universitas M.V. Lomonosov, Moskow, Rusia (1962-1964).

Sabtu malam, 25 Juli 2020, saya menerima kabar Ajip Rosidi dirawat di Rumas Sakit Tidar, Magelang. Menurut pesan itu, ada pendarahan di kepala.

Minggu, 26 Juli 2020, ketika saya memberi sambutan dalam acara Syukuran Hari Puisi mengawali Perayaan ke-8 Hari Puisi Indonesia, saya mohon kepada peserta yang hadir agar mendoakan kepergian penyair besar, Sapardi Djoko Damono dan menyampaikan alfatihah untuk kesembuhan Ajip Rosidi. Dan malam tadi, 29 Juli 2020, ada pesan dari grup WhatsApp, Ajip Rosidi meninggalkan kita semua. Lalu, berseliweranlah ucapan bela sungkawa. “Sastrawan Ajip Rosidi sudah meninggalkan kita pukul 22.20 di rumah duka Jatiniskala, Pabelan Magelang,” begitu pesan yang saya terima dari Ken Zuraida, istri mendiang penyair Rendra.

Selamat jalan Mang! Indonesia (: sastra Indonesia) telah menerima warisan pemikiran anjeun yang tertuang dalam puluhan buku. Insya Allah, semuanya akan menjadi amal saleh dan ilmu yang bermanfaat yang akan melempangkan jalan menuju Surga.

Teh Nani Wijaya, sing sabar ya. Wis takdire!
Alfatihah ….

*Penulis adalah dosen sastra di FIB - UI

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel