KDRT Ibu Hamil Sebaiknya Hakim Abaikan Surat Perdamaian

    Budyanto saat di kantor polisi (foto: ist)



Oleh Halimah Humayrah 

Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga TM (23 tahun) oleh suaminya Budyanto Djauhari (35 tahun) beberapa waktu lalu, saat ini telah masuk babak baru. Kasus yang terjadi di Tangerang Selatan dan sempat viral itu,  kini sedang diadili di Pengadilan Negeri Tangerang.

Terungkap di Pengadilan, TM dan Budyanto telah membuat Surat Perdamaian. TM berharap, suaminya akan mendapatkan hukuman ringan. Dan mereka ingin kembali hidup satu rumah.

Meski demikian, perdamian TM dengan suaminya Budyanto Djauhari  harus diteliti betul oleh Majelis Hakim yang mengadili. Apakah perdamaian tersebut memang murni ingin saling berbaikan atau ada msksud terselubung, ingin bebas dari hukum.

Pernyataan TM di persidangan tidak cukup menjadi dasar bahwa  benar telah terjadi perdamaian antara suami isteri itu. Majelis Hakim harus mengecek dengan menanyakan kepada saksi lain, apakah benar telah terjadi perdamaian. 

Orang tua TM bisa juga dimintai keterangan. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa perdamaian dilakukan tanpa paksaan, tekanan, atau ancaman dari siapapun. Mengingat Budyanto ini kan pernah melakukan ancaman kepada keluarga TM.

Jika perdamaian benar dilakukan tanpa tanpa paksaan, tekanan, atau ancaman dari siapapun. Maka, Majelis Hakim harus mempertimbangkan satu hal lagi. Hakim harus memahami kultur patriarkhi yang masih bercokol di masyarakat. Jadi misalnya perdamaiannya tidak ada paksaan, namun TM ini terpaksa melakukan perdamaian karena kondisinya sedang hamil.

Nah pandangan patriarkhi selama ini, menganggap bahwa masyarakat akan memandang tidak baik jika hamil tetapi tidak ada suaminya, nanti kalau anak yang dilahirkan sudah mulai mengerti dan bertanya siapa ayahnya bagaimana menjawabnya dan lain-lain.

Oleh karena itu, hemat saya Majelis Hakim seharusnya mengenyampingkan Surat Perdamaian antara keduanya. Publik perlu mendapatkan pelajaran dari kasus ini. KDRT bukan perkara sepele.

Perlu disampaikan, bahwa Penuntut Umum mendakwa dengan Pasal 44 Ayat (2) UU Pengahpusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal itu jelas bukan delik aduan. Kondisi apapun, termasuk perdamaian tidak dapat menghentikan proses hukum yang dihadapi Budyanto.

Sekali lagi, saya menyarankan Majelis Hakim mengabaikan Surat Perdamaian itu.


*Halimah Humayrah Tuanaya, Dosen Pidana dan Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Fakultas Hukum UNPAM_


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel