Kekuasaan Yang Menindas
Oleh Teguh Wijaya
Kekuasaan, barangkali umurnya sudah sangat tua di dunia. Dia ada karena ada obsesi manusia yang ingin mengusai. Tak heran, kekuasaan sering disimpulkan semacam penampung hasrat manusia paling purba untuk menguasai. Tidak saja mengusai yang materi tetapi juga non materi seperti hukum, politik, organisasi, moral atau kebijakan lainnya. Meskipun secara maknawi, ia tak memberi kepuasan bathin manusia. Absurd, memang.
Pandangan itu segaris dengan pemikiran Albert Camus, seorang jurnalis, novelis sekaligus filsuf asal Prancis yang terkenal dengan gagasan absurditas.
Di mata Camus, kehidupan manusia itu sebagai benturan antara kerinduan akan makna dan kenyataan bahwa dunia tak memberikan makna apa pun. Dalam absurditas muncul ketika manusia sadar bahwa pencariannya terhadap kebenaran, tatanan, dan makna justru berhadapan dengan keheningan semesta. Namun, dari absurditas inilah lahir bentuk-bentuk perlawanan manusia terhadap kekosongan itu — termasuk dalam arena kekuasaan.
Kekuasaan, dalam kacamata Camusian, dapat dilihat sebagai salah satu “mitos makna” yang diciptakan manusia untuk menutupi absurditas hidup. Para penguasa, ketua organisasi, partai, walikota dan lainnya, kerap merasa bahwa mereka memiliki tujuan luhur: menata masyarakat, menegakkan keadilan, atau membawa kemajuan. Namu tujuan-tujuan itu hanyalah sandiwara rasional untuk menutupi kenyataan bahwa kekuasaan sejatinya berakar pada kehendak untuk bertahan dan menguasai dalam dunia tanpa arah moral absolut.
Layaknya Sisyphus yang mendorong batu ke puncak gunung hanya untuk melihatnya jatuh kembali, para penguasa terus “mendorong” proyek-proyek kekuasaan mereka — reformasi, pembangunan, kebijakan — tanpa pernah mencapai puncak kepuasan eksistensial. Begitu tujuan satu tercapai, muncul lagi yang lain. Kekuasaan menjadi lingkaran absurd yang tak berujung.
Untuk itulah, Camus menolak ide totalitarianisme dan ideologi apa pun yang berpretensi memiliki kebenaran mutlak. Dalam karyanya L’Homme Révolté (Manusia Memberontak), ia menunjukkan bahwa kekuasaan yang meyakini diri sebagai pemilik kebenaran justru akan jatuh ke dalam kekerasan. Ia menulis: “Begitu manusia menganggap dirinya sebagai Tuhan, maka ia mulai membunuh atas nama kebenaran.”
Di sinilah absurditas kekuasaan mencapai bentuk paling tragis — ketika penguasa berusaha memberi makna pada dunia dengan cara menindas. Ia berjuang melawan kekacauan, tetapi justru menciptakan kekacauan baru. Ia ingin menghapus absurditas dengan ideologi, padahal absurditas adalah bagian tak terhindarkan dari keberadaan manusia itu sendiri.
Camus tidak mengajak manusia untuk menyerah pada absurditas, melainkan untuk menghadapinya dengan kesadaran penuh. Dalam konteks kekuasaan, hal ini berarti menolak godaan untuk mencari makna total dalam politik atau ideologi apa pun. Penguasa yang sadar akan absurditas tidak akan berambisi menjadi penyelamat, melainkan penjaga batas — ia memahami bahwa kekuasaan hanyalah alat sementara, bukan wahyu kebenaran.
Seorang pemimpin “Camusian” adalah mereka yang sadar bahwa kekuasaan tidak akan menebus absurditas hidup, namun justru harus dijalankan dengan kerendahan hati, kesadaran akan keterbatasan, dan penghormatan terhadap penderitaan manusia yang absurd.*
#penulis jurnalis alumni study agama dan filsafat Jakarta