Gegara Sebut Kafir, KH Asnawi Diadili Belanda

KH Asnawi (kanan)

Cipasera - Ingat KH Saifuddin Zuhri? Dia adalah tokoh NU yang pernah diangkat jadi Menteri Agama, zaman Presiden Soekarno (1962). Kyai asal Banyumas ini pernah menulis memoarnya dengan judul Berangkat dari Pesantren.

Memoar tersebut, antara lain, memuat pengalamannya bersinggungan dengan ulama. Salah satunya, yang ia catat tentang seorang  kyai yang memiliki kisah unik, mengharukan sekaligus teladan untuk siapa saja; terutama dalam soal prinsip keagamaan.

Tersebutlah KH Raden Asnawi. Dia hidup di kota kecil, Kudus, Jawa Tengah. Tubuhnya  ringkih karena usia. Kyai ini usianya 80, saat cerita ini terdengar oleh publik.

Kiai Haji Raden Asnawi, dia merupakan A’wan Syuriah Nahdlatul Ulama. Pada zaman kolonial Belanda, karena ujarannya dia dimejahijaukan (landraad).  Dia dituduh melakukan delik penghinaan kepada orang yang tidak salat sebagai orang kafir atau orang gila.

Dalam catatan KH Saifuddin Zuhri pada memoarnya, seperti dikutip portal historia,  mengingat ulama tersebut sudah berusia lanjut dan sangat berpengaruh dalam masyarakat Kudus, saat sidang, hakim ketua pengadilan secara persuasif meminta terdakwa mencabut kata-katanya dengan alasan tergelincir lidah (slip of the tongue). Namun ajakan itu ditolak mentah-mentah.

Penolakan tersebut karena Kiai Asnawi menganggap  dirinya sekadar mengatakan,  apa yang tertera  dalam kitab Fiqih: Falaa tajibu ‘alaa kafirin ashliyyin wa shobiyyin wa majnuunin,   yang artinya maka sembahyang itu tidak wajib dikerjakan oleh orang kafir, anak masih bayi, dan orang gila.

Dengan demikian, kata KH Asnawi,  maka siapa pun yang tidak melakukan sembahyang atau yang merasa dirinya tidak dibebani kewajiban sembahyang, samalah artinya dengan menyamakan dirinya orang gila.

"Yang menamakan dirinya sama dengan orang gila ialah pengakuannya sendiri berdasarkan bunyi kitab Fiqih, saya sekadar menerangkan bunyi kitab itu,” kata Kiai Asnawi Menjelaskan.

Tetapi apapun penjelasan KH Asnawi, Pengadilan tetap  menjatuhkan hukuman denda sebesar 100 gulden.

Uang sejumlah itu bagi Asnawi, nilainya sangat besar. Dan Kiai Asnawi sendiri tidak memiliki uang sebanyak itu.

“Kalau tak mampu membayar denda 100 gulden, Pak Kiai mesti masuk penjara sekian hari,” kata ketua pengadilan.

Apa kata Kiai Asnawi? Dia keberatan untuk dibui. Sebab masuk penjara bagi orang tua seperti dirinya amat menyusahkan.

“Lagi pula bagaimana nasib santri-santri saya? Siapa yang mengajar mereka? Siapa yang mengimami sembahyang?” tanya Kiai Asnawi menebar pandangan ke sekeliling ruang pengadilan sambil berdiri dibantu tongkat dengan kepala tegak.

Persidangan jadi ramai. Ketua pengadilan menskor persidangan, untuk  berunding dengan jaksa.

“Perundingan sambil berbisik itu diakhiri dengan sang ketua pengadilan merogoh dompet dari kantongnya dan menyerahkan sejumlah uang kepada jaksa,” kata Saifuddin

“Pak Kiai, ini ada uang seratus gulden, harap Pak Kiai membayarkan dendanya,” kata jaksa. Kiai Asnawi pun dibebaskan dengan membayar denda seratus gulden yang berasal dari ketua pengadilan.

Menurut Saifuddin, begitulah gambaran Kiai Asnawi yang juga pernah mengirim surat kepada Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Rois Akbar NU, dan membuatnya masygul berhubung dengan penggunaan terompet dan genderang oleh Ansor NU dalam baris berbaris.

“Beliau tidak sependapat dengan Hadlaratusy Syaikh yang memperbolehkan terompet dan genderang dalam Ansor NU,” kata Saifuddin.

Namun alur cerita yang lain, meski memiliki pengaruh dan punya  kharisma, masyarakat ada saja yang tak simpati padanya. Sebab ketika kota Kretek ini diduduki tentara Belanda, kyai tidak mengungsi. Itu terjadi  saat agresi militer kedua pada Desember 1948.

Kabarnya, Kiai Asnawi yang sudah berusia 80 tahun tidak mampu hidup dalam gerilya, dikejar-kejar musuh dan bergerak terus. Selain itu, dia amat berat meninggalkan masjid dan pesantrennya.

Tapi yang menarik,  bila dulu tokoh NU ini tetap kokoh mempertahankan prinsip, soal deskripsi tafsir secara tektual maupun kandungan makna, filosofi dan religi soal kafir,  kini justru seperti "sebaliknya". Kata kafir ingin direduksi, tak layak untuk menyebut  orang beragama lain.(red/ts/historia)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel