SMSI Apresiasi Penundaan Pembahasan RUU KUHP dan Cipta Kerja


Firdaus 
Cipasera- Keputusan Presiden RI Joko Widodo menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, patut didukung oleh semua kalangan. Meskipun demikian, RUU ini harus tetap kita cermati.

Hal itu  dikatakan oleh Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Firdaus dalam keterangan persnya, hari Jumat (24/4).

Dengan penundaan pembahasan salah satu RUU tersebut, kata Firdaus, pemerintah telah  mendengarkan aspirasi masyarakat sebagaimana keberatan yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh.

Setidaknya Presiden telah menunda pembahasan salah satu RUU yang semula akan dibahas bersama RUU lainnya, yaitu RUU KUHP.

SMSI menudukung Dewan Pers yang secara tegas menolak pembahasan RUU KUHP dan RUU Cipta Kerja karena pemerintah perlu fokus menangani Pandemi Covid-19, selain di dalam RUU tersebut terdapat pasal yang dapat mendegradasi kemerdekaan pers. “Ini persoalan penting bangsa yang perlu didengar  oleh pemerintah.” kata Firdaus.

Dalam persoalan ini, Presiden Jokowi tampaknya segera merespon permohonan penundaan pembahasan salah satu RUU tersebut. “Kemarin pemerintah telah menyampaikan kepada DPR dan saya juga mendengar Ketua DPR sudah menyampaikan kepada masyarakat bahwa klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja ini pembahasannya ditunda, sesuai dengan keinginan pemerintah," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jumat (24/4).

Menurut Jokowi, penundaan tersebut memberi waktu yang lebih lama baik bagi pemerintah maupun DPR untuk mendalami substansi dari pasal-pasal yang berkaitan.

Sebagaimana diberitakan oleh ratusan media siber, SMSI meminta Pemerintah memperhatikan keberatan Dewan Pers yang mewakili unsur pers dalam berdemokrasi, untuk menunda pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dalam rapat kerja di tengah pandemi Covid-19.

Menyikapi hal tersebut, dalam keterangan pers tertanggal 16 April 2020, Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh mendesak DPR dan pemerintah untuk menunda pembahasan berbagai rancangan perundangan, termasuk RUU KUHP dan RUU Cipta Kerja tersebut, sampai dengan kondisi yang lebih kondusif, sehingga pelaksanaan proses legislasi dapat berjalan secara layak, memadai dan memperoleh legitimasi, saran, dan masukan yang baik dari masyarakat sipil maupun komunitas pers secara maksimal.

Dewan Pers menolak pembahasan RUU KUHP terkait dengan pasal-pasal yang dapat mempengaruhi kemerdekaan pers antara lain Pasal 217-220 (Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden), Pasal 240 dan 241 (penghinaan terhadap Pemerintah), Pasal 262 dan 263 (penyiaran berita bohong), Pasal 281 (gangguan dan penyesatan proses peradilan), Pasal 304-306 (tindak pidana terhadap agama), Pasal 353-354 (Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara), Pasal 440 (pencemaran nama baik), dan Pasal 446 (pencemaran terhadap orang mati) serta pasal-pasal lainnya. (***)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel